Hai, salam kenal (selalu) !


Karena sebenarnya, masa perkenalan adalah proses seumur hidup. Sepertinya kita tidak akan pernah benar-benar mengenal seseorang, bahkan sampai pertemuan terakhir dengannya sekalipun. Akan selalu ada sisi-sisi lain atau minimal sisi-sisi baru yang belum kita kenali warna atau bentuknya. Seorang teman yang sepakat dengan hal itu pernah menggunakan analogi sederhana: bisa jadi orang yang kita kenal cinta mati pada batagor, tahun depan sudah tidak terlalu suka batagor tapi lebih suka siomay. Atau teman yang kita kenal cukup pendiam, setelah lama tidak bertemu ternyata ia sudah menjadi seorang announcer kondang. Jadi boleh disimpulkan bahwa tidak ada yang dinamakan batas tepi istilah "benar-benar kenal". Dari situ, aku semakin amin pada pernyataan di awal tadi: masa perkenalan dengan siapapun tidak akan pernah berakhir!

Berseberangan dari premis sederhana itu, ternyata pada prakteknya aku masih seringkali "merasa" sudah mengenal bahkan terlalu mengenal diriku sendiri. Seumur hidup "berjalan" bersama dengan diri sendiri, kedengarannya aneh kalau sampai tidak kenal. Apalagi konteksnya dengan "dirinya sendiri", pikirku. Tapi keyakinan ini agak kendur ketika muncul satu pertanyaan sederhana: jadi apa yang sebenarnya kubutuhkan dan kuinginkan saat ini? Meski bukan yang pakem (betul, indikator ini masih sangat cair), pemahaman dan pengetahuan soal kebutuhan dan keinginan sekurang-kurangnya bisa menjadi salah satu indikator dasar yang sederhana untuk menunjukkan tingkat kedalaman perkenalan. Kalau memang kenal betul, semestinya tahu dan paham apa yang sedang dibutuhkan dan diinginkan, apalagi ini konteksnya (lagi-lagi) adalah diri sendiri.

Ternyata soal apa yang kubutuhkan, kuinginkan, atau kusuka saat ini, seringkali aku masih ragu juga. Keyakinan dan kesadaran ini sayangnya semakin memudar seiring berjalannya waktu dan bergulirnya usia. Ketika masih belia, dengan mudah aku mengatakan dan menyebutkan: aku ingin jadi ini! aku ingin menjadi seperti itu! aku suka ini! aku menggemari itu! ahh aku rasa aku butuh ini! Atau secara lebih gamblang, menyatakan: Hai, aku umur 10 tahun dan ketika sudah besar nanti aku mau jadi arsitek! Hai, sekarang aku sudah 15 tahun dan aku sedang merasa butuh ruang untuk bereksplorasi di organisasi. Kelugasan menyatakan soal 'aku' membuat proses perkenalan (dengan siapapun) jadi terasa lebih mudah dan lancar sepertinya.

Berbeda dengan saat ini, ketika diajukan pertanyaan serupa, minimal perlu jeda panjang sebelum benar-benar berani menjawab. Betul memang tidak serta merta menipisnya keberanian untuk menjawab pertanyaan ini lantas menjadi salah satu indikator mutlak menurunnya tingkat pemahaman dan perkenalan dengan diri sendiri. Tapi sekali lagi, sekurang-kurangnya keberanian untuk menjawab (dan memilih jawaban) dari pertanyaan ini bisa menjadi salah satu faktor pendukung dalam proses mengenal.

Maka dari situ aku sadari, ketika berbicara soal kenal, dikenal, mengenal, alih-alih bicara soal sudah atau belum (kenal), agaknya akan lebih bijak jika disetiap pertemuan (termasuk dengan diri sendiri) diluangkan kesediaan untuk mengosongkan diri dari asumsi dan mengantongi keberanian untuk (selalu) mengatakan, "Hai, salam jumpa. Salam kenal! Dengan "siapa" saya berbicara hari ini?" Juga ketika bertemu dengan orang (baik kenalan lama maupun orang baru), diikuti dengan keberanian untuk senantiasa mengatakan: "Hai, salam jumpa. Salam kenal! Hari ini Anda sedang berbicara dengan saya yang sedang menyukai lagu-lagu band Indie dan lebih suka membenamkan diri di balik halaman buku-buku daripada ketika terakhir kali kita bertemu."

Komentar