YANG BERTABRAKAN


Perfect Days, sebuah film Jepang menceritakan kehidupan sehari-hari seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai seorang pembersih toilet di Tokyo. Kesehariannya sederhana saja: bangun pagi-pagi betul ketika langit masih gelap, mencuci muka dan sikat gigi, menyirami tanaman-tanaman kecil yang dipeliharanya, berganti pakaian kemudian keluar dan membeli sekaleng kopi dari vending machine di depan rumah, menuju toilet tempatnya bekerja dengan mengendarai mobil sambil memutar lagu dari kaset koleksinya. Ketika matahari sudah tinggi dan ia telah menyelesaikan pekerjaannya, ia duduk di taman untuk makan sandwich dan mengambil 1 kali jepretan foto daun-daun pohon yang sesekali menyembunyikan sinar matahari dari pandangan dengan kamera lawasnya. Selepas itu ia menuju ke tempat pemandian umum, makan malam di kedai langganan, lalu pulang ke rumah dan membaca buku kemudian tidur. Berulang begitu terus setiap harinya. Di hari libur, ia bangun ketika matahari sudah muncul, membersihkan rumah, menuju laundry koin dengan sepeda pancal, kemudian mampir ke tempat langganan untuk cuci cetak foto sekaligus mengambil hasil cuci cetak minggu sebelumnya, kembali ke rumah dan menyortir hasil cetakan foto kemudian menyimpan di wadah alumunium, setelah itu mengendarai sepeda lagi untuk membeli sebuah buku bacaan, kemudian makan malam di kedai favorit.

Begitu seterusnya dari waktu ke waktu, cenderung rutin, stabil, seadanya, secukupnya, dan minim letupan atau ledakan perubahan yang besar; namun tidak pernah kehilangan kegembiraan. Selalu ada senyum mengembang di setiap hari untuk hal-hal kecil yang bisa dinikmati dan disyukuri. Entah sekedar karena cuaca yang cerah di pagi hari, atau untuk lagu menyenangkan yang diputar dalam perjalanan menuju lokasi kerja, atau sandwich yang masih bisa terasa nikmat di siang hari, atau air dingin dan makan malam yang masih bisa dinikmati selepas bekerja, juga buku yang masih terus menunggu untuk diselesaikan kemudian digantikan dengan buku lainnya di setiap malam.

Sangat menyenangkan dan menenangkan hati menontonnya, seakan ikut hanyut terbawa dalam kehidupan idaman yang tentram dan bahagia. Tidak mengejar banyak hal, melakukan apa yang dirasa perlu dan dikerjakan dengan hati-hati dan sebaik-baiknya. Seolah-olah tak boleh ada satu waktupun dilewatkan begitu saja tanpa disesap nikmatnya. Meski begitu, ia pun masih manusia biasa, ada kalanya merasa terganggu dan canggung ketika bertemu orang lain dalam keadaan yang kurang pas, juga masih bisa marah ketika orang lain meninggalkan tanggung jawabnya dan berimbas padanya. Namun sungguh, perasaan dan emosi-emosi sesaat itu tak pernah terlalu mengurangi kebahagiaan dan ketenangan kehidupan dan hari-harinya. 

Setelah film berakhir, yang tersisa di kamarku hanya diamnya badan dan ribut di kepala yang justru semakin keras. Berbagai-bagai pikiran dan potongan adegan-adegan dalam film lalu lalang di kepala, sesekali bertabrakan dengan memori realita kehidupan keseharianku yang cukup ribut dan jarang diizinkan tenang, juga  berpapasan dan saling menghindar dari bangunan idealisme yang sempat disusun di dalam kepala. Di antara riuhnya isi kepala, beberapa puzzle visual abstrak dan kata-kata acak berkejaran tanpa membuat sebuah makna yang bisa dibaca artinya; akhirnya menyembul sebuah rumusan yang berhasil terusun diantaranya: Aku juga ingin hidup seperti itu! Dari rumusan kalimat inilah kemudian ribut-ribut visual dan kata lain kududukkan, hanya premis utama ini yang jadi rajanya malam itu. Lalu yang duduk di ujung menyahut: Kalau memang ingin hidup seperti itu, lalu apa yang menghalangimu untuk tidak melakukannya selama ini? Riuh rendah yang masih belum teratasi sebelumnya mendadak sunyi, sepi, tak ada yang berani menjawab.

Maka pertanyaan itu kubawa kemana-mana, kurenungi dan kusesap dalam-dalam ketika makan, mandi, berganti pakaian, sampai sebelum tidur. Ada idealisme untuk terus mengisi hari dengan sesuatu yang (dirasa) bermanfaat, kepala yang tak pernah diizinkan sekedar bersantai dan menikmati waktu tanpa dibebani 'apa lagi yang harus kupikirkan sekarang', dan badan yang sengaja dibuat tak diam percuma tanpa melakukan hal-hal berarti. Kebiasaan-kebiasaan yang diamini sejak lama sebagai manifestasi dari prinsip hidup nggetih tenanan, masih dan tetap terus dihidupi hingga kini dengan keyakinan akan berbuah manis suatu hari nanti. Buah manisnya seperti apa persisnya? Aku juga tak yakin, bisa jadi harapan untuk menjadi 'sesuatu'. Tapi semua itu sungguh bertabrakan dan berbanding terbalik dengan apa-apa yang kulihat di dalam film, yang saat ini (kurasa) mulai aku inginkan.

Dipandu oleh beberapa literatur dan sumber-sumber lain mengenai apa yang saat ini sering disebut sebagai slow living, pelan-pelan isi kepala dan badan mulai diusahakan diselaraskan ke arah sana. Apa-apa yang akan dipikirkan dan dilakukan diusahakan diseleksi betul sesuai arahan referensi yang didapat. Mirip seperti ketika membaca resep sebelum membuat adonan kue atau masakan tertentu. Meski masih kadang salah takaran di beberapa poin dan belum berarti semua bahan komplit terproses, tapi satu persatu potongan puzzle yang (sempat) hilang mulai muncul satu persatu. Beberapa muncul sebagai potongan jawaban, sebagiannya hanya panduan pertanyaan. Namun bagaimanapun bentuknya, toh mereka mengambil porsi masing-masing untuk melengkapi bagian-bagian yang kosong. Pertanyaan soal apa-apa yang sebenarnya dicari dan dikejar dalam hidup dan apa yang sebenarnya menjadi ketakutan terbesar belakangan ini menjadi pertanyaan-pertanyaan pondasi yang cukup membantu mengeratkan sambungan potongan-potongan puzzle yang mulai bermunculan. Puzzle utuhnya belum juga penuh, tapi muncul satu pertanyaan yang membuat pencarian potongan lain jadi tak lagi diburu: benar juga, memangnya kenapa kalau pada akhirnya aku tidak jadi apa-apa?

Komentar