PREFERENSI


Semakin bertambahnya waktu hidup dan referensi, aku makin mengerti bahwa preferensi masing-masing pribadi tidak bisa disamakan pun dipaksakan. Mungkin bisa dibiasakan, namun itupun butuh waktu dan proses yang tidak sebentar. Memang preferensi bukan hal yang semata-mata muncul, apalagi sekali dua kali ditanamkan sekedarnya. Preferensi tumbuh dari referensi dan pembiasaan, maka berubahnya referensi dan pembiasaan tentu akan berpengaruh pada preferensi.

Paling sepele soal preferensi selera dan pilihan makanan, musik, atau hobi. Soal ini tentu kita semua sepakat, satu sama lain tentu berbeda-beda. Lebih dari itu, misalnya soal ketertarikan pada manusia lain. Aku ingat aku kagum betul pada salah satu perempuan berkulit kuning langsat, berambut panjang bergelombang, dan memiliki senyuman yang manis; seorang pekerja di lantai 3. Hingga sempat terpikir, jika aku laki-laki tentu akan kupacari dia. Atau setidaknya karena aku wanita, aku ingin memiliki badan dan wajah semanis miliknya. Tapi ternyata tak semua orang sepakat bahwa ia seistimewa itu. Setiap kali aku berdecak kagum ketika melihatnya, rekan kerja di sebelah tempat dudukku ikut berdecak namun dengan decak heran, karena menurutnya perempuan itu tak seindah yang selalu kuagung-agungkan. Begitu juga sebaliknya, perempuan yang dikagumi oleh rekan kerjaku itu, menurutku hanya perempuan rata-rata saja. Begitu terus seringnya, hingga kami hanya bisa saling mengangguk iya saja ketika satu sama lain saling mengagumi perempuan-perempuan (atau juga laki-laki) lain yang menurut kami penampilannya layak diberi 4 acungan jempol.

Belakangan kusadari, soal preferensi ini pada akhirnya ternyata berpengaruh juga pada bagaimana membangun hubungan dengan orang lain. Seminimalnya kadangkala perbedaan preferensi yang tidak diiringi pemahaman bahwa selera yang berbeda tidak bisa disalahkan, tak jarang menimbulkan selisih. Tapi lebih dalam lagi, tak jarang preferensi ini mengelabuhi pikiran dan perasaan jadi 'meminta' pihak lawan untuk mengenyangkan. Tentu pada batas-batas tertentu apalagi yang telah ditetapkan budaya dan aturan bersama tidak masuk hitungan. Soal-soal yang berbau selera pribadi apalagi secara spesifik agaknya kurang pas jika dipaksakan. Maka akupun belajar, bahwa melabeli atau menempelkan nilai tertentu pada sesuatu atau orang lain, hanya berdasar pada preferensi bukan hal yang tepat. Ahh kok gitu sih bentuknya! Ahh kok gini sih warnanya! Ahh kok gitu sih gayanya! Ahh coba dia lebih ini atau itu, pasti lebih menarik! Atau ungkapan-ungkapan lain yang ternyata tidak lagi diperlukan, karena hanya akan melelahkan pikiran sendiri alih-alih membawa manfaat. Bahkan lebih jauh lagi, ungkapan-ungkapan itu bisa menjadi jahat ketika aku tetap berusaha terhubung dengan sesuatu atau orang itu (tetap dengan perasaan terganggu), lalu berharap bisa mengubahnya menjadi sesuai preferensi pribadi dan mengenyangkan pikiran serta perasaanku semata.

Sebagai manusia, memang sangat wajar untuk terbiasa menilai dan dinilai, melabeli dan dilabeli. Maka membatasi dan menahan diri untuk tidak 'adu preferensi' bukan hal yang mudah. Tapi sore ini aku duduk di dalam kendaraan, melihat warung nasi pojok tikungan yang biasanya sepi tampak didatangi beberapa pengunjung yang terlihat sedang menikmati makanannya dengan syahdu, sambil tanganku memegang ponsel yang menampilkan update dari seorang teman kuliah (yang dikenal kurang cocok dalam menjalin hubungan dengan beberapa laki-laki di kampus kami): ia menikah dengan laki-laki lain yang terlihat sangat mencintainya. Pada akhirnya aku menyandarkan punggung, menghela nafas, dan menyadari satu hal untuk meyakinkan diri soal preferensi pribadi: ahh, semua pasti ada 'pasar'nya dan 'pasar' bisa diciptakan!

Komentar