PERIHAL MENGAKUI DAN MELEPASKAN



Paulo Coelho dalam karangannya mengisahkan Brida, seorang perempuan muda cantik yang dituntun semesta untuk mengembangkan bakatnya sebagai seorang penyihir. Ia dipertemukan dengan guru pertamanya, Wicca, dan diajarkan banyak ilmu dasar yang diperlukan. Di suatu masa berikutnya ia bertemu guru keduanya, Magus. Dalam sebuah pengajarannya dikatakan bahwa salah satu hal penting yang bisa didapat (dan harus dipelajari) dalam proses belajar menjadi penyihir adalah seseorang perlu belajar mengenali dan menemukan pasangan jiwa yang ditakdirkan untuknya dari hidup ke hidup (reinkarnasi satu ke reinkarnasi berikutnya). Ada sebuah cara sederhana yang unik untuk mengetahuinya, pasangan jiwa kita adalah orang dengan sebuah titik cahaya di atas pundak kanannya. Tentu titik ini hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang telah mempelajari ilmu mereka dan yang merupakan pasangan jiwanya.

Brida sudah memiliki kekasih bahkan sebelum ia terjun mempelajari dunia sihir. Ketika momen proses pencarian pasangan jiwa itu, ia menyesapi dalam-dalam kekasihnya dan menjadi cukup lega karena menemukan pusaran indah nan dalam di mata kekasihnya. Karena perasaan itu, Ia yakin bahwa kekasihnya adalah yang ditakdirkan untuknya, meski tak dilihatnya titik cahaya di atas pundak pria itu. Dan dengan keyakinan yang dibawanya itu, akhirnya Ia memilih untuk tidak meneruskan pencarian pasangan jiwanya (meski tetap terus belajar ilmu sihir dan terus mempersiapkan diri dengan baik menuju malam pentahbisan).

Singkat cerita, pada akhirnya Brida menyadari bahwa pasangan jiwanya adalah Magus, guru keduanya. Muncul titik cahaya terang di atas pundak gurunya itu pada pesta pentahbisannya menjadi seorang penyihir. Namun karena perasaan cinta dan kesetiaannya pada kekasihnya (juga didukung oleh lapang dada dan bijaknya Sang Magus sebagai pasangan jiwanya), akhirnya Brida memilih untuk tetap menjalani dan meneruskan hidup bersama kekasihnya. Meskipun ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa ada gelombang ketenangan dan getaran tak terjelaskan yang dirasakannya setiap kali bersama dengan Sang Magus. Pun juga sang Magus merasakan getaran dan kepuasan yang tak terjelaskan setiap kali mengajarkan sesuatu pada Brida. Meski begitu pada akhirnya Sang Magus juga memilih untuk menepi dan bergandengan tangan lagi dengan mantan kekasihnya, Wicca, yang dicintai dan mencintainya begitu dalam namun sempat memutuskan berpisah saat tau bahwa mereka bukan pasangan jiwa satu sama lain. Baik Brida maupun Magus memilih untuk sebisanya mengakui apa yang dirasakan, namun tetap menjalani pilihan masing-masing dan melepaskan kenyataan bahwa takdirpun tak dapat membuat mereka bersatu.

Melalui pendekatan konotatif dengan cerita fiktif, aku menjadi mengerti dan terjelaskan bahwa perasaan adalah sesuatu yang begitu kompleksnya. Apalagi perasaan cinta (atau sayang). Tak bisa dikalkulasi, diukur dengan timbangan, terselami dasarnya, bahkan dengan paksa digaris takdir. Perasaan hakikatnya dirasa, bukan dipikirkan saja. Yang akhirnya kadang menjadi masalah, manusia seringkali kesulitan mencari cara atau media atau kata untuk menyampaikan dan menjelaskan wujud rasa itu. Bentuknya terlalu abstrak dan berbeda-beda. Maka mengertilah juga aku akhirnya, mengapa ada perasaan cinta (atau sayang) yang hanya nikmat disesap sendiri tanpa diutarakan, ada perasaan cinta (atau sayang) yang makin terasa manis ketika disampaikan secara gamblang tanpa perlu bumbu tambahan, ada perasaan cinta (atau sayang) yang saking besarnya justru menolak untuk menjaga dan memiliki, dan ada perasaan cinta (atau sayang) yang dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa diharap jadi apa-apa. Juga mengertilah aku akhirnya mengapa ada orang yang setengah mati bersumpah bahwa ia mencintai (atau menyayangi) tapi tak berhenti menyakiti. Ada yang justru memilih berhenti, karena tahu perasaan cinta (atau sayangnya) akan menyakiti. (Aku ingat di dalamnya orang-orang yang pernah menyakitiku begitu dalam, meski mulutnya mengatakan ia menyayangiku).

Maka dalam doa (dan tangis)ku di depan Bunda Perawan malam ini, kubawa nama-nama yang bermunculan di kepala; yang menyayangi, yang kusayangi, yang menyakiti, yang kusakiti. Aku mengakui apa yang kurasakan dan pada akhirnya berani melepaskan (dan juga dilepaskan).
: Kamu menyakiti karena kamu tidak tahu apa yang kamu perbuat, aku memaafkan kamu.
: Aku menyakiti karena aku tidak tahu apa yang aku perbuat, aku meminta maafmu.

Komentar