CURA PERSONALIS


Wregas Bhanuteja punya cara yang unik ketika melakukan pendekatan kepada para aktor dalam proses pembuatan film. Selama proses persiapan (khususnya proses reading awal), Wregas sekaligus mendalami serta mengenali kebiasaan dan preferensi pribadi masing-masing aktor. Hasil dari pendalamannya ini kemudian dimanfaatkan untuk menentukan jenis treatment dan pendekatan yang akan diberikan, dalam rangka membantu aktor untuk mencapai kedalaman dan pendalaman peran sesuai yang diharapkan Wregas sebagai sutradara. Cura personalis, Wregas menyebutnya. Ia terinspirasi dari cara guru SMAnya ketika mengajar di kelas dan menerapkan pendekatan yang berbeda antara siswa yang satu dengan lainnya.

Aktor yang satu dengan lainnya tentu memiliki preferensi dan pendekatan yang berbeda-beda dalam proses mendalami peran. Ada yang cukup diberikan gambaran besar situasi, konteks, dan permainan peran yang diharapkan. Ada yang punya ingatan fotografis yang sangat baik, sehingga lebih optimal ketika diarahkan sedetail mungkin posisi dan tampilan yang diharapkan, mulai dari raut wajah, posisi bibir, sorot mata, kerutan dahi, gerakan tangan, langkah kaki, detik ke berapa untuk gerakan apa, langkah bagaimana untuk dialog apa, dan sebagainya dan sebagainya. Ada yang pendalaman emosinya semakin baik ketika diberi gambaran situasi di luar script yang nuansa emosinya senada dengan scene yang akan dimainkan. Misalnya dengan bisikan kalimat seperti ini: "kamu adalah seekor kuda di padang rumput yang mencoba membangunkan tuannya yang mati kehausan" atau secara diam-diam dimainkan voice note dari anak kandung aktor ketika scene menggunakan headset dan memerlukan tampilan emosi sedih yang senyap, hanya menitikkan air mata tanpa suara. Ada yang gabungan dari beberapa jenis pendekatan, seperti ingatan fotografis dan pendalaman emosi melalui pengalaman pribadi di masa lalu.

Karena hidup rasanya serupa bermain lakon, penulis naskahnya Tuhan dan masing-masing kita adalah pemainnya; maka cura personalis yang diterapkan Wregas menjadi menarik untuk kuterapkan dalam melakukan pendekatan pada diriku sendiri. Semata karena adanya keinginan untuk menjadi sebaik-baiknya aktor alias lakon, sesuai yang diinginkan oleh Sang-Penulis-Naskah. Memang bukan hal yang mudah untuk menjadi sutradara sekaligus lakon untuk diri sendiri, apalagi scriptnya tidak dipegang. Sedikit berbeda dengan Wregas yang melakukan pendekatan berbeda pada beberapa aktor; karena lakonnya adalah diri sendiri, aku mencoba untuk melakukan pendekatan berbeda-beda untuk beberapa situasi dan kondisi. Mencoba-coba pendekatan yang satu dengan yang lain untuk melihat mana yang paling cocok pada situasi apa menjadi proses yang cukup menarik untuk dilakukan.

Beberapa waktu belakangan aku merasa agak kelabu mengambil langkah dan arah. Beberapa peristiwa terjadi begitu tiba-tiba dan mematahkan beberapa dahan besar yang menghalangi beberapa jalan. Perlu berbagai penyesuaian dan refleksi diri yang lebih mendalam untuk pada akhirnya membuat langkah dan mengambil arah yang tidak tertutup dahan (atau mencari cara melewati yang terlanjur tertutup). Maka salah satu pendekatan yang kucoba adalah dengan memposisikan diri seolah aku aktor dengan ingatan fotografis kuat sehingga perlu dikte detail pendalaman peran yang dilakukan. Detail-detail dituangkan dalam to do list rinci dan rancangan-rancangan terstruktur soal apa yang penting dan perlu untuk dilakukan dan diselesaikan dalam beberapa waktu kedepan. Cara ini bukan favoritku, tapi terbukti cukup efektif untuk menghemat daya fisik dan mental pada saat-saat yang dibutuhkan. Lain pendekatan lagi, terkadang aku mendalami peran dengan memberi diri asupan situasi yang senada dengan kondisi yang dialami: konotatif dengan cerita-cerita fiktif. Tulisan fiktif Paulo Coelho soal seorang anak gembala yang mencari harta karunnya menjadi salah satu pendekatan yang tepat untuk dinikmati sebagai asupan utama di masa itu. Ketika berada di situasi menakutkan, aku merasa seperti anak gembala yang dihempas badai angin di padang gurun. Ketika kalut hilang arah, aku merasa layaknya anak gembala yang kehilangan seluruh uang hasil penjualan puluhan dombanya dan terasing di kota orang. Ketika merasa stagnan jalan di tempat, aku merasa seperti anak gembala ketika dua tahun mengabdi sebagai penjaga toko kristal yang sepi di puncak bukit (yang akhirnya jadi sedikit ramai setelah si anak gembala membuat ide berjualan es teh dengan gelas kristal, tapi rutinitas hariannya tetap sama sebagai penjaga toko kecil di puncak bukit). Makin dalam aku menyesap perasaan-perasaan dan emosi-emosi sang anak gembala, semakin dalam aku menikmati peran dan lakonku di 'chapter' ini.

Memang belum banyak jenis pendekatan yang kuusahakan dan kucoba terapkan di beberapa situasi berbeda. Yang gagal dan tidak bekerja dengan baik jelas tidak sedikit dan tidak sebentar masanya. Tapi proses coba-coba ini agaknya layak terus dicoba dan dijalani dalam memenuhi tugas sutradara dan lakon yang baik. Jadi, jenis pendekatan apalagi yang kira-kira perlu dicoba untuk memperdalam peran di 'chapter' kehidupan yang berikutnya?

Komentar