TENTANG SI MANIS


Ndi, jalan hidup ini memang tidak ada yang tahu ya? Ternyata sama sepertiku (pun juga mungkin yang lain), kita sangat membenci perpisahan dan ditinggalkan. Aku bisa meraba emosi dan rasa itu dari kata-kata yang kau sematkan disana, persis dibawah foto laki-laki yang membesarkan dan mencurahimu cinta sejak kau masih di dalam kandungan. Laki-laki yang menjemputmu dengan sepeda motor kesayangannya pukul 4 dini hari, selepas kau syuting semalaman suntuk. Laki-laki yang kala itu memberimu buku tulis kecil sampul kuning (yang kemudian dengan ceroboh kau tinggalkan di angkot pulang). Laki-laki yang sering kau sebut-sebut dalam cerita-ceritamu disana. Laki-laki yang (pada beberapa pekan yang lalu) akhirnya benar-benar pergi terpisah raga dan sukmanya dari pandanganmu.

Ndi, kalau boleh memaki sesukanya, bukankah kau ingin meludahi kehidupan? Kalau boleh menyumpah sesukanya, bukankah kau sangat ingin mencacinya? Bukankah kau ingin menendang-nendang poros kehidupan, tepat di persediannya? Agar dia tahu rasa bagaimana sakitnya perasaan dan pikiran kita setelah digoncang dan diporakporandakan alur cerita yang dibuatnya. Kalau bolehpun, aku ingin memaki, meludah, dan menendang-nendangnya bersamamu. Turut menyesap luka-luka yang kau rasakan lalu memelukmu kencang-kencang.

Sebenarnya aku tak sekuat itu. Maka jika kau mencari pundak yang kokoh tegap, yang tidak turut terguncang hebat bersama pundakmu ketika kau memeluknya erat-erat sambil menangis kencang-kencang; tentu bukan aku orangnya. Tapi jika kau mencari telinga yang lebar dan dada yang terbuka lapang untuk kau lekatkan dengan dada hangatmu (yang diam-diam sering jadi salah satu pusat perhatianku di foto-foto cantikmu); aku akan maju paling depan. Maju paling depan dengan membuka lengan lebar-lebar untuk menyambut pelukan dan bahumu yang berguncang karena isak tak tertahan.

Tapi tampaknya perkiraanku meleset, Ndi. Unggahan-unggahanmu belakangan ini tampak lebih jujur dan apa adanya. Perasaan-perasaan sedih, kecewa, takut, bingung, gembira, tertawa, hangat, dingin, bahagia meluncur bebas disana; tak sedikitpun kau tutupi bahkan manipulasi. Tapi tak sebesitpun niat menendang-nendang poros kehidupan kutangkap disana. Hanya perasaan dan emosi seadanya, yang kau luapkan dan bagikan sebisanya. Sesekali melalui tangkapan layar dari tulisan daftar pekerjaan rumah yang perlu kau selesaikan, atau sekedar cuplikan videomu ketika memberikan sambutan di acara minum-minum peringatan kepergian ayahmu, atau tangkapan layar ketika kau dan kakak perempuanmu mencuci sofa tempat mendiang ayahmu terakhir menghembuskan nafas. Lalu disitu aku menjadi malu (dan sedikit bangga juga tentunya), ternyata isi kepalamu tak sama dengan isi kepalaku, caramu merasa tak sama dengan caraku, isak air matamu tak sama dengan isak air mataku. Ahh memang inilah Indi, sosok yang dalam diamnya mengapit abupun kukagumi sungguh-sungguh manis jiwanya. 

Komentar