HANYA 'LAPAR'

Ada yang bilang, perut yang kenyang menyenangkan dan menenangkan perasaan. Maka ku-aminkan pernyataan itu dengan membeli sekotak sushi ala-ala dengan harga terjangkau disekitar tempat tinggal, setelah sebelumnya menangis tersedu-sedu sepanjang merayakan Ekaristi sore tadi. Tanpa dorongan yang bisa didefinisikan dengan jelas, setelah Pastor menandai mulainya perayaan Ekaristi dengan tanda kemenangan, satu persatu bulir-bulir air mata berjatuhan. Sesekali menahan laju nafas jadi agak tersengal. Tidak banyak ritus dalam ekaristi yang bisa dihayati dengan sungguh, apalagi homili: jelas hilangnya.

Memang benar, tak ada tempat yang paling menenangkan untuk mengadu dan meratap selain di hadapan Sang Maha. Sambil menahan suara isak dan teriak sebisanya agar tak terdengar warga kost lain, kubiarkan air mata mengalir sederasnya dan sekencangnya mengikuti apa yang dirasa. Ada rasa takut dan marah disana, ia meleleh dan membanjir keluar jadi silihnya. Semakin kencang setelah Pastor mengangkat piala dan disambut umat: saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh. Semua rasa tumpah disana, tumpahannya membasahi isi kepala dan membanjir disana diiringi lagu komuni yang tampaknya dilantunkan beberapa umat saja. Suaranya samar-samar, bersahut-sahutan dengan isi kepala yang berontak ikut terbasahi padahal tak ikut-ikut main rasa.

Air mata mereda bersama lagu penutup yang (lagi-lagi) dilantunkan samar-samar karena koor terisi hanya oleh beberapa umat saja. Rasa takut dan marah ikut mereda setelah disilih air mata. Bertukar perasaan yang kencang di bawah dada: lapar. Maka tanpa ragu kusikat seluruh isi kotak sushi yang baru datang sekaligus (yang biasanya kubagi cukup untuk 2-3 kali sesi makan). Gemuruh di bawah dada tenang, perasann dan isi kepalapun ikut tenang. Entah apapun yang terjadi dan bergejolak tadi, aku sudah tidak lagi peduli. Mungkin aku hanya lapar. Ya, hanya lapar.

Komentar