PENDARATAN TAK SEMESTINYA


Sejak awal aku memutuskan untuk mencintaimu dengan kepalaku (minimal lebih banyak daripada dengan hati, kalau tidak mau dibilang tidak dengan hati sama sekali). Maka aku tahu betul resiko dan perbedaan jalannya, ketika kita mencintai banyak dengan isi kepala ketimbang isi hati. Beberapa hal yang mungkin biasanya dirasa, yang ini cukup dipikirkan. Boleh sesekali dirasa, tapi disesap sedikit saja tak perlu banyak-banyak nanti pusing. Kepalanya? Bukan, hatinya. Memang hati bisa pusing? Nah ini buktinya kita pusing juga kan? Hhahaha.

Tapi bukan berarti aku sama sekali tidak mencintaimu dengan rasa. Tetap ada beberapa rasa yang bisa dikecap hati, kadang senang, sedih, marah, kecewa, sakit, kangen, nafsu, yaa masing-masing mengambil porsi kecil-kecilnya yang memang mungkin kadang kurang imbang. Mas, bukankah untuk melangkah ke jenjang berikutnya kita perlu banyak-banyak berpikir alih-alih merasa? Karena perasaan akan hilang, tapi apa yang ada di kepala bisa bertahan selama nalar dan akalnya berkembang minimal stagnan. Karena benar, pada dasarnya semua akan berubah, termasuk kita.

Di sebuah persimpangan akhirnya aku sadar, bicara soal hubungan tak mungkin sama sekali tak bicara perasaan, atau sekedar berusaha menekan setipisnya. Ketika pikiran mencoba menguasai, perasaan berusaha menyembul pelan-pelan di sela-sela jeda berpikir: seperti air yang naik dan meresap diam-diam di ujung baju belakangmu ketika tak sengaja menduduki kursi yang basah ujungnya. 

Tapi melibatkan rasa banyak-banyak juga bukan berarti salah. Sama sekali tidak. Bukankah memang rasa adalah bahan bakarnya? Mungkin kita seringkali dibuat takut untuk bersentuhan dengannya karena sifatnya yang mudah terbakar. Tapi bukan berarti kemudian harus kita hindari, kan? Kalau pesawat tidak diisi bahan bakar, dengan tenaga apa ia akan bergerak terbang? Betul memang jika tak hati-hati atau tak sengaja didekatkan dengan sumber api ia bisa meledak, tapi jika diisikan dan ditempatkan di tangki yang semestinya akan aman-aman saja kan sebenarnya? Soal kebocoran dan tetesan bahan bakar yang meluber tiba-tiba tentu di luar kendali kita. Bukankah memang dalam hidup selalu ada hal-hal tak terduga yang berada di luar kendali kita? Sekeras apapun kita mencoba mempersiapkan dan mengantisipasi, kejutan-kejutan itu selalu punya celah lubang tikusnya untuk menyusup masuk.

Mas, bukankah sebenarnya kita hanyalah dua orang pecundang yang terlalu takut menumpahkan bahan bakar di tangki, lalu memlih mendarat saja di perhentian terdekat ketika kita mulai kehabisan bahan bakar? Kita terlalu takut apabila kita membuat tetesan-tetesan kecil atau luberan ketika kita menumpahkannya bersama-sama, khawatir ia akan terpantik api lalu meledak menghanguskan pesawat ini. Mas, bukankah sebenarnyapun saat ini kita mendarat di tempat yang tak semestinya? Bandara terdekat masih beberapa ratus meter di depan sepertinya.

Komentar