APA YANG DICARI


Aku kembali kemari semata-mata karena kemarin tiba-tiba mama tanya: lagi nulis apa sekarang? Yang tentu saja kujawab jujur dan sekenanya, enggak ada. Memang tak ada yang sedang kubagikan dalam rupa tulisan di waktu-waktu ini. Bukan berarti tak ada hal-hal menarik atau mengesankan di hidupku belakangan. Tapi agaknya aku sedang kurang tertarik menceritakan bagaimana aku mematahkan tulang panggulku setelah menyasak polisi tidur di jalanan yang tidak sepi juga, atau soal bagaimana aku hampir menghisap nikotin lagi (kali ini bersama rekan kantor yang baru kukenal tapi cukup kupercaya), atau soal pertikaianku dengan pengembang properti di waktu-waktu belakangan.

Tapi setelah cukup waktu merenung, ternyata dibalik aktivitas dan rutinitas sehari-hari (yang kuusahakan betul untuk kembali normal dan dijalankan dengan stamina penuh pasca rehat lebih kurang 3 minggu), ada 1 pertanyaan mendasar yang masih cukup mengganggu pikiranku: apa yang sebenarnya ingin kucapai atau ingin kulakukan (setidaknya sebelum menikah)? Ahh, mengapa sebelum menikah? Aku juga tidak yakin, mungkin karena banyaknya informasi dan referensi 'katanya' yang kuterima, mengatakan bahwa pernikahan adalah gerbang perubahan: seperti masuk di dunia yang baru, (lagi-lagi) katanya. Maka sebelum memasuki dunia yang baru, aku merasa sepertinya aku perlu melakukan hal-hal yang ingin kucapai dan kulakukan (selagi bisa). Tapi yang jelas, aku ingin dan akan menikah!

                                                                     ---

Sore itu aku merayakan ekaristi secara daring. Biasanya perhatianku akan teralih kesana kemari, apalagi saat homili (maka jangan pernah tanya apa homili Romo di misa barusan, karena tentu aku hampir tidak tau jawabannya!) Tapi hari ini agak berbeda. Perayaan ekaristi dirayakan dengan cukup meriah karena 11 orang pastor merayakan ulang tahun tahbisan mereka yang ke-5. Tentu karena bukan perayaan biasa, durasi ekaristi khususnya homili tidak sesingkat biasanya. Tapi toh kudengarkan juga tanpa teralih pada hal-hal lain, pun juga terpaksa: soal kehidupan mereka pasca ditahbiskan menjadi pastor, mereka 'hanya' bisa patuh dan tunduk pada keputusan yang di atas, lalu melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Sendika dhawuh istilahnya dalam Bahasa Jawa. Meski realitanya juga seringkali menjadi sendika waduh, namun toh mereka masih bisa tetap bertahan dan merasa disertai hingga saat ini.

                                                                     ---

Sebuah unggahan di media sosial menampilkan tulisan dengan latar lagu keluaran terbaru. Sebuah pertanyaan singkat: Apa jadinya kalau kita nggak jadi apa-apa nanti? Dan jawabannya: Kita akan selalu bisa jadi apa-apa dan pasti akan jadi apa-apa, bahkan dalam keseharian yang terlihat biasa saja atau bahkan membosankan. Sangat sederhana. Unggahan lain dari akun berbeda membahas hal serupa: semua orang punya perannya masing-masing, tidak perlu ingin menjadi seperti yang lain. Kamu dengan peranmu, jalankan saja sebaik-baiknya. Itu saja cukup.

                                                                     ---

Hari ini kami makan siang bersama satu divisi. Sederhana saja, di pantry divisi (ya, tapi sebelumnya kami memesan makanan cepat saji dan jajanan dari luar 😏). Kami memesan beberapa varian makanan berbeda, dan atas arahan atasan kami diminta memotong seluruhnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil agar masing-masing bisa mencoba beberapa varian berbeda sekaligus. Maka aku menyediakan diri membuka kemasan dan mulai memotong mereka satu persatu sambil menawarkan dan mengangkat mereka ke piring kecil masing-masing anggota jamuan makan siang itu (yang tentu disambut dengan penuh semangat sembari menanyakan nama dari masing-masing varian yang mereka terima). Setelah semua piring terisi setidaknya satu atau dua varian (dan minta diisi lagi setelah mereka habis tersantap); salah seorang anggota jamuan bertanya: kamu sendiri udah ambil? Aku tersenyum lalu mencomot sepotong yang paling menarik buatku, yang lelehan kejunya meluber hingga keluar. 

                                                                     ---

(Masih) dalam perjalanan pencarian jawaban, aku mencoba menghubungi 2 orang yang kupercaya sekedar untuk berbagi keresahan. Meski dengan cara dan diksi berbeda, aku paham bahwa apa yang mereka sampaikan senada: kamu nggak perlu tahu jawaban akan semua hal sekarang. Pelan-pelan aja, nggak apa-apa.

Maka menjadi masuk akal-lah buatku sebuah kalimat yang kutemui di sebuah konser musik (yang tiketnya masih kubeli dengan uang orangtua): kamu akan dipertemukan dengan apa-apa yang kamu cari.

Komentar