SEBUAH CARA UNTUK MERAYAKAN

Tulisan ini didedikasikan untuk pria yang Sabtu malam lalu mengaku padaku bahwa ia ulang tahun hari ini. Entah benar hari ini atau tidak, aku tidak peduli: menurutku semua orang layak merayakan hari kelahirannya kapanpun, bahkan setiap hari sekalipun. Karena setiap manusia layak merasa terlahir kembali dan hidup baru setiap hari. Tapi karena dirasa perayaan yang setiap hari akan menipiskan kesan dan menjelma kebiasaan, maka perayaan setahun sekali cukuplah. Oleh karena itu, akupun amin jika ia mau menjadikan hari ke-enam di bulan kedua ini peringatan hari lahirnya.

Aku selalu senang ketika bisa turut ambil bagian di hari bahagia seseorang. Maka hari ini aku memilih ambil bagian dengan menggambarkan apa-apa yang ada di kepalaku ketika aku mendengar namanya. Ada beberapa hal yang membuat ia tampak unik sebagai seorang pribadi. Salah satunya adalah hal yang ditawarkannya sebagai kelebihan diri: suka mendengarkan orang. Ya, dengan dalih bisa belajar lebih banyak dari cerita orang dan terbiasa bekerja dengan mendengarkan orang, ia merasa kebiasaan itu bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Ajaibnya, dengan cara dan mantranya yang sederhana ia bisa membuat isi kepala lawan bicaranya dengan mudah termuntahkan keluar tanpa pemanis atau penyaring yang berarti ketika berhadapan dengannya. Ia paling bisa menguliti hingga ke bagian terdalam, tanpa lawan bicaranya merasa ditelanjangi: sebuah kemampuan dasar yang tidak dimiliki semua orang.

Selain itu, ia memiliki jiwa kakak laki-laki yang kental. Ia pandai memanjakan dan memberi makan ego anak-anak dalam diri lawan bicaranya. Aku gampang luluh kalau ada yang manja sama aku, katanya padaku suatu kali. Maka makin berjingkrak-jingkraklah jiwa kanak-kanak yang tertidur dalam diriku, minta dikenyangkan. Pembawaannya yang kalem dan dewasa juga menjadi pesona tersendiri. Matanya yang menyala dan tempo bicaranya yang tegas tertata setiap kali mengatakan sesuatu yang ia sukai dan sedang geluti, membuat jiwaku semakin ingin melompat masuk dalam dekap pikirannya yang tampak aman dan terlihat hangat bersahabat.

Ada yang bilang, kita akan lebih mudah tertarik pada sesuatu yang sudah familiar. Maka akupun akhirnya paham mengapa tidak sulit bagiku untuk menaruh percaya padanya: ia terasa dekat dan jauh dari kata asing. Belakangan kusadari ternyata sekilas aku melihat bayangan papa ketika masih muda di dalam dirinya: berpikiran bebas dan terbuka, mencintai sastra dan seni, suka merokok, dan aktif dimana-mana. Nada bicaranya yang makin rendah dan berat ketika malam rasanya juga mirip dengan hangatnya nafas dan suara papa yang mengantarku tidur waktu kecil dulu. 

'Tentunya aku nggak akan menghabiskan waktu untuk ngobrol panjang kalau aku nggak tertarik sama orangnya,' katanya suatu kali di tengah obrolan menit ke 126 pada sebuah sambungan telepon. 'Kalau kamu, apa yang membuat kamu tertarik sama aku?' sambungnya kemudian. Ia terlalu terus terang, tapi justru itu yang membuat aku semakin tertarik. Tentu bukan pertanyaan yang terlalu sulit untuk kujawab, pun juga kuutarakan. Semua sifat dan cara pandangnya yang unik kusebutkan satu persatu tanpa malu: aku merefleksikan sikapnya yang juga tak malu-malu. Tapi setelah kuingat lagi, ternyata ada satu alasan penting yang malah belum kusampaikan: aku merasa semakin menyukai diriku sendiri waktu ngobrol sama kamu, mas.

Komentar