MELARIKAN DIRI


Kini makin kuatlah alasanku untuk melarikan diri ke Pulau Dewata. Setelah sebelumnya ingin sungguh aku kesana menemui si manis yang mungkin sedang mengapit rokok sambil membaca buku di sudut studionya, juga menghampiri rumah si berani (yang sejujurnya aku juga tidak yakin persisnya dimana); kini motivasiku bertambah satu: menemui seorang dosen ilmu komputer yang belakangan acap bertukar soal hidup denganku.

Meski sudah lama kupendam, tapi keinginanku untuk menemui si manis masih sekuat sejak awal aku menaruh kagum padanya. Di tengah ruangan agak remang dengan sebuah sumber cahaya kecil yang berpendar, tangan kirinya mengapit rokok, tangan kanannya memegang pena yang tak berhenti menggores buku catatan yang tiap lembarnya putih polos tanpa garis: sebuah imaji sempurna yang selalu bermain di kepalaku ketika aku mengingat si manis. Badannya sudah tidak seramping dulu memang, tapi ia tetap dan selalu tampak seksi di mataku. Ya, lekuk tubuh dan bahasa matanya yang tajam dan teduh sekaligus tidak pernah gagal membuatku terdiam beberapa saat hanya untuk melongo kagum penuh hormat padanya.

Soal si berani, meski hingga kini aku tidak pernah mengontaknya lagi, tapi kekagumanku padanya -apalagi ketika ia mengenakan pakaian sembahyang-, tak pernah berubah. Dua bulan yang lalu aku bilang padanya aku akan ke tanah kelahirannya. Ia menjadi bersemangat dan minta dikabari jika aku jadi kesana. Tapi begitulah hidup, manusia merencanakan semesta menentukan. Pada akhirnya aku tidak jadi menginjakkan kaki lagi di tanah kelahirannya dalam waktu dekat. Alih-alih begitu, aku malah dapat kesempatan mengunjungi pulau dimana orang tuanya tinggal. Meski begitu, semangatnya tidak lagi sama. Pulau dewata, tanah kelahirannya tampak jauh lebih menarik dari tempat manapun.

Soal dosen ilmu komputer yang akhirnya kukenal baik belakangan ini, aku ingin menghampirinya kesana. Menemuinya dan melihatnya mengenakan kaos hitam dan celana batik favoritnya. Membawakan barang satu atau dua kotak bakpia Jogja favoritnya, untuk dimakan bersama sambil melempar keresahan. Menanyakan ini dan itu, juga mendengar tanya serta jawabnya tentang soal-soal kehidupan. Lalu sambil minum es dari gerai yang akhir-akhir ini menjamur di berbagai belahan daerah di negeri, kami saling menertawakan satu sama lain sambil memukul-mukul diri: bukankah hidup kita terlalu lucu untuk ditangisi?

Maka memandang gambaran-gambaran bayangan soal Pulau Dewata dan orang-orang yang ada dibaliknya, membuat ingin dan tekadku semakin kuat untuk benar-benar lari kesana. Tekad dan inginku sudah bulat betul, kendati hanya foto dan videonya yang bisa kunikmati; sambil menyesap teh panas kental yang kuseduh sendiri di pantry kantor, di antara tumpukan dokumen dan daftar pekerjaan yang (masih) mengular sore ini. 

Komentar