IMAJI BERSAMA SI AKTIF


Tentang seorang dosen ilmu komputer yang akhirnya kukenal baik belakangan ini, kita sebut saja si aktif (konon ia pernah balas dendam pada pacarnya yang sering berdalih sibuk sehingga jarang membalas pesan, dengan mengambil 3 pekerjaan sekaligus sambil kuliah S2). Pada akhirnya ia bisa membuktikan membalas pesan bukan soal sibuk atau tidak, tapi soal skala prioritas.

Kadang (masih) ada inginku menghampirinya kesana. Aku tidak akan merengek minta diantar ke tempat-tempat wisata terkenal disana, aku hanya akan minta diantar ke pura terbesar dekat tempat tinggalnya. Sepanjang jalan aku akan mengoceh ribut, mengagumi banyak hal dan sekali-sekali minta dijelaskan soal ini dan itu yang menarik perhatianku. Hingga mungkin ia menjadi kesal. Tapi sepertinya aku tidak akan peduli, aku akan tetap ribut dan mengoceh. Bukankah ia sendiri yang mengatakan bahwa ia rela ditahan mahasiswanya dari pagi hingga sore di kelas hanya untuk diskusi soal apapun? Maka kubuat asumsi, ia adalah orang yang suka berdiskusi, soal apapun dan dengan siapapun.

Lalu perjalanan yang harusnya tidak terlalu jauh akan terasa panjang karena jalanan begitu padat. Ia mulai mengomel dan mengutuki jalanan macet. Alih-alih ikut mengomel dan mengutuki jalan, mungkin aku akan memilih diam memberikan ruang di dalam kendaraan untuk dipenuhi dengan omelannya, sambil mulai mengunyah bakpia Jogja yang kubawakan untuknya. Meski bukan favoritku, tapi kuakui bakpai yang didewa-dewakannya itu memang enak. Maka disitu ia akan beralih dari jalanan dan mengomeliku karena mulai menghabiskan lebih banyak bakpia daripada dia, yang sedari tadi sibuk menyetir dan mengomel. Karena tidak terima, ia mulai mencomot beberapa bakpia sambil tetap mengoceh dan memasrahkan setir pada satu tangan saja. Lalu menjadi gusar karena beberapa remahan bakpianya jatuh mengenai baju sembahyang yang sedang dikenakannya. 

Setelah sama-sama cukup kenyang dan tenang, sambil menatap jalanan yang (masih juga) padat, kita mulai saling melempar pertanyaan-pertanyaan soal hidup. 'Kenapa soal hati rumit sekali ya mba?' 'Saya juga bingung, mas.' Kemudian kami sama-sama terdiam tenggelam kedalam pikiran masing-masing, dia dengan pikirannya soal pertanyaannya barusan, dan aku dengan pikiran mengapa ia justru lebih senang dipanggil 'mas' ketimbang 'bli'. Meski ia dengan terus terang sudah pernah menjelaskan bahwa panggilan 'mas' terdengar lebih maskulin dan gagah di telinganya, tapi jawaban ini juga tetap tak memuaskan penasaranku. 'Mas, habis dari pura kita beli es krim Mixue yaa.' 'Es krim biasa aja ya, es krim Mixue terlalu manis.' 'Huhh padahal semua es krim sama aja manisnya!' 'Beda.' 'Yaudah es krim apa aja bebas, panas banget saya mau es krim.' Aku menyerah juga, karena lagi-lagi kendali setir kendaraan ada di tangannya.

Lalu akhirnya kami tiba di pura yang dituju. Cukup ramai disana, tapi aku merasa aman karena aku bersama warga lokal. Kemudian setelah memarkir kendaraan pada tempat yang benar, ia membawaku terbenam masuk diantara gerbang megah yang menganga di depan pura. Lalu.. ahhh, gambaran ini terlalu sulit untuk kuimajinasikan. Megah dan cantiknya pura besar di Pulau Dewata tergambar jelas di bayanganku tapi sungguh sulit kudefinisikan dengan kata-kata. Sungguh melegakan dan memuaskan jiwa, hingga ingin kusapu dan kusesap habis setiap cantik sudutnya. Setiap lekuknya seolah berbicara dengan caranya masing-masing soal bahasa keindahan. Bahkan lumut yang nangkring disana ikut menyapa dan menunduk ramah tanda ucapan selamat datang.

Tapi ahhh, jika berkhayal adalah dosa, tentu pikiran dan tanganku selama tulisan ini dibuat sudah kuadukan pertama kali ketika aku masuk ruang pengakuan dosa di gereja. 

Komentar