POHON DI KEPALA



Suatu malam, seorang teman menghubungi melalui telepon: pengen ngobrol aja, katanya. Maka dalam sambungan telepon tersebut, ia menceritakan banyak hal tentang apa yang terjadi di hidupnya akhir-akhir ini. Soal usahanya, soal pertemuannya dengan teman lama yang mengajaknya kerja sama (diam-diam dia berencana 'menikam' rencana usaha kawannya dengan politik senyap), soal hutang bank yang akan diambilnya untuk mengembangkan usahanya, dan sebagainya dan sebagainya. "Aku pengen punya banyak uang, membesarkan usaha, lalu mencari pasangan hidup dan menikah" katanya kemudian. Sampai situ aku masih diam saja mendengarkan ia berbicara. Ini yang selalu kusuka ketika tersambung di telepon dengan orang yang cukup aku kenal: mereka tidak khawatir aku diam saja seperti tidak mendengarkan, mereka tahu aku diam justru karena aku mendengarkan suara mereka dan tersenyum tipis sesekali saat mereka mengatakan sesuatu yang menarik.

"Kalau kamu, apa yang kamu inginkan? Yaa, impianmu di hidup ini lah," ia menembakku tiba-tiba. Aku yang tidak siap dengan pertanyaan ini, akhirnya hanya diam dan membiarkan jeda diisi suara nafas kami saja. Mungkin aku ingin hidup saja, aku ingin hidup setiap hari; kataku akhirnya. Sekarang gantian ia yang terdiam. Tapi akupun tidak khawatir, karena aku tahu dia mendengarkan. 

Pembicaraan kami dengan mudah beralih ke topik lain, akhirnya. Hingga perbincangan berakhir dan kami menutup telepon karena hari mulai larut. Kukira ia mungkin sudah lupa dengan pembahasan kami tadi, tapi topik bahasan kami itu rasanya selalu segar di ingatanku; bahkan hingga beberapa hari kedepannya. Ya, aku terus memikirkan apa yang sebenarnya kuinginkan. Inipun bukan bahan pemikiran yang baru juga sesungguhnya, tapi ketika dipantik ternyata ia jadi cukup mengganggu karena terus berlarian di ruang kepala dan kadang menabrak beberapa kabinet ingatan maupun tumpukan soal-soal lain.

Karena ia terus berlarian dan enggan menjadi jenak, alih-alih melawan dan membasminya kini justru kujadikan ia salah satu pohon yang perlu kuhidupi juga setiap harinya. Ya, berpikir soal apa yang betul-betul jadi keinginan dan mimpi kedepan kini bukan lagi monster menyeramkan yang terus berlarian dan menabrak ini dan itu di kepala. Sekarang ia hanya sebuah pohon kecil di taman kepala, yang sama dan setara haknya seperti pohon-pohon rutinitas harian lain yang kuhidupi setiap harinya: memoles bedak sebelum berangkat kerja, duduk dan bekerja di kantor, memutar lagu dan menyanyi dengan speaker teman satu divisi, mencuci baju, membuang ampas kopi di alat pembuat kopi, mengencangkan sprei di sisi kasur, menata boneka sebelum tidur, dan sebagainya dan sebagainya. Semua dengan nafasnya masing-masing dan dengan porsi waktunya masing-masing.

Komentar