INGKAR


Akhir pekan lalu aku berniat memenuhi janjiku pada si berani untuk bertemu. Sabtu pagi jam 10, singkatnya akhirnya kami menyepakati waktu temu. Meski aku kurang yakin juga awalnya, karena ia mengatakan bahwa itu adalah jam bangun tidurnya sehari-hari. Nanti aku pasang alarm deh, katanya kemudian. Maka kukosongkan jadwal pula di jadwal yang sudah ditentukan. Ya, demi bertemu si berani yang kukagumi lekuk pikir dan tuturnya, meski hanya dalam imaji. 

Maka waktu temu yang disepakati merayap semakin dekat, aku menghubungi untuk izin minta mundur janji temu 60 menit. Tapi bahkan hingga waktu janji awal, tak ada kabar apapun darinya. Notifikasi pesan dibacapun tidak. Maka sudah bisa kuduga bahwa ia belum terjaga dari tidurnya yang entah diikatnya dari pukul berapa. Lewat tengah hari, sebuah pesan baru masuk: maaf aku baru bangun hehe. Dari situ aku tahu bagaimana nilainya di mataku. Sejak saat itu kami tidak pernah berkontak lagi: karena dia ingkar.

Beberapa waktu yang lalu, seorang pria menghubungiku. Kuduga ia adalah orang yang mengirimiku sejumlah uang persis beberapa hari setelah aku menulis di laman ini kalau sisa uangku hingga akhir bulan sangat tipis. Aku merasa tak membutuhkannya, maka kukembalikan padanya beserta bukti pengiriman. Ia mengatakan bahwa itu bukan miliknya, dan ia akan mengembalikannya lagi padaku. Tapi hingga saat ini, tak ada sepeserpun yang ia kembalikan sesuai janjinya. Bukan masalah nominal uangnya, toh itu bukan milikku. Tapi setidaknya aku tahu nilainya di mataku: karena dia ingkar.

Maka mengertilah aku mengapa dulu mbah putri begitu kesal ketika kami cucu-cucunya atau bahkan menantunya menjanjikan satu dua jajan pasar atau buah-buahan, tapi lupa membawanya ketika pulang kampung (bahkan kebanyakan dari kami lupa kalau kami pernah menjanjikannya). Biasanya kami pulang kampung 2 kali setahun: ketika libur kenaikan kelas dan natal. Yang berarti ada jarak terpaut lebih kurang 6 bulan dari kepulangan kami yang satu ke kepulangan berikutnya. Maka kami merasa wajar kalau kami melupakan janji-janji kecil pada mbah putri. Tapi tidak dengan mbah putri, Beliau terus ingat pada janji kami. Maka wajarlah jika Beliau kesal ketika kami pulang dengan tangan kosong atau oleh-oleh yang tidak sesuai dengan janji: karena kami ingkar.

Ada satu pelajaran menarik dari mama yang masih kuingat sampai sekarang: jangan pernah menjanjikan doa ke orang lain jika tidak benar didoakan. Jangan mudah mengumbar kalimat: aku doakan kamu sehat selalu, bahagia, dan blablabla; tapi kita tidak benar-benar memanjatkannya setelah membuat tanda salib atau ketika bersujud sembahyang. Memang betul, perkataan adalah doa. Tapi kita masing-masingpun sadar, apa definisi doa yang sebenarnya. Jika berpegang pada keyakinan itu maka tetap saja, meski sudah diucapkan tapi jika tidak betul didoakan: kita sudah ingkar.

Akhirnya akupun belajar, terlepas dari ucapan yang diingkari dan membuat nilai diri di mata orang lain, ternyata ada yang lebih penting: tidak ada yang benar-benar sepele. Karena siapa tahu apa yang kita anggap sepele, sungguh berarti buat orang lain. Maka sebisa mungkin, jangan ingkar (ya diriku!).

Komentar