TERBAKAR : MEMBAKAR


Kalau saja mantanku yang bangsat itu nggak suka buka-buka laman ini lagi, sudah pasti kutuliskan disini apa-apa yang kurasakan dan kupikirkan dengan leluasa. Termasuk ide-ide yang berlarian di kepala. Beberapa di antaranya masih serupa kecambah, malu-malu mereka mendongak. Yang lainnya sudah tumbuh sampai berbuah. Memang beberapa jadi ilalang saja mengganggu di kepala. Tapi toh kusyukuri juga hadirnya, karena kucing-kucing di kepalaku suka menggigiti dan menelannya sekedar untuk melancarkan isi perutnya lalu dimuntahkan kembali.

Soal ambisi, aku teringat pada beberapa hal yang pernah membuatku merasa begitu hidup di saat-saat tertentu. Aku pernah bilang pada seseorang: aku merasa seperti api waktu berambisi. Persis seperti yang kurasakan waktu aku mengidolakan seorang pebasket di usianya yang masih belia: aku mau nulis buku supaya bisa kenal sama dia! Atau waktu semua orang bilang pengurus organisasi nggak ada yang bener nilainya: lihat saja tahun ini aku akan mengisi jabatan di organisasi dan dapat nilai di atas rata-rata! Atau waktu aku mengenal mantanku dulu: aku pengen macarin dia! Atau waktu mantanku mengataiku orang paling bangsat yang ia cintai betul: lihat saja nanti siapa yang lebih bangsat dan cintanya lebih besar diantara kita berdua! Semua membuatku merasa begitu terbakar. Ya, terbakar dalam artian begitu bersemangat dan kadangkala tersiksa kepanasan. Tapi kala itu aku sepakat bahwa ambisi yang baik akan tercapai jika diimbangi dengan usaha dan pengorbanan yang cukup. Maka kunikmati juga beberapa organ dan perasaanku yang kadang tak sengaja 'terbakar' dan kemudian 'melepuh' dalam proses. -Setidaknya kalaupun bagian-bagian tubuh dan jiwaku jadi bopeng sana-sini, ia akan mencapai finish dengan paripurna-

Tapi karena sudah membiasakan diri dengan menjadi api dan terbakar untuk tetap hidup, pada saat-saat yang tenang-tenang serupa aliran sungai ternyata justru membuatku resah. Maka mengertilah aku mengapa kadang aku mengambil ambisi-ambisi kecil yang acak yang kutemukan di antara ilalang kepala: ambisi menyelesaikan tumpukan cucian baju sepulang lembur kerja yang sangat melelahkan, ambisi menyelesaikan dokumen melebihi batas rata-rata harian pekerja lain, ambisi menyelesaikan setoran jalan sore rutin sepulang kerja yang begitu lemas dan tak bertenaga, juga ambisi memacari seorang laki-laki dengan imaji serupa bulan purnama di kepalaku. Agar apa? Tujuannya apa? Tentu tidak lain dan tidak bukan semata-mata untuk membuat diriku menjadi api dan terbakar, bahkan (mungkin) bukan untuk apa-apa yang lain.

Hati-hati kamu membakar sesuatu ketika kamu jadi api, ucap seseorang. Ya, aku tahu menjadi api bukan selalu berarti baik di segala situasi. Membakar diri hingga jadi panas betul hingga 'melepuh' juga bukan hal yang baik untuk dilakukan terus-terusan. Tapi aku sadar, tanpa menyempatkan diri untuk menjadi api dan terbakar, aku tak akan bisa melintasi jalan hidup dengan tegap dan tegar, bahkan aku tidak yakin akan bisa tetap berjalan maju di situasi demikian. Syukur-syukur kalau badan dan jiwaku yang ber'api' bisa jadi penerangan di jalan-jalan gelap yang berlumut dan lembab, kan? Ahh tapi kalau memang aku ditahan betul untuk berapi dan terbakar, maka mungkin aku akan memilih membakar sesuatu untuk dinikmati. Nikotin yang digulung kertas, misalnya.

Komentar