MULAI DAN BERHENTI


Suatu kali ia pernah bertanya soal menu makanku siang itu. 'Oatmeal, aku jarang makan nasi kalau di kost.' Kenapa, katanya. 'Aku pengen kurus! Hhaha.' Kenapa, tanyanya lagi. 'Aku pengen cantik.' 'Tapi kamu sudah cantik.' 'Nggak, aku nggak percaya!' 'Jadi, apa atau siapa yang bisa buat kamu percaya? Apa yang bikin kamu merasa sampai di tujuanmu itu?' 

Ia memperkenalkan dirinya sebagai pedagang pasar induk kepadaku. Tapi foto-foto yg terpampang di media sosialnya semua gambar-gambar hasil karya tangannya. Maka aku sempat sangsi pada pengakuan awalnya. Iya dulu sempat nyari uang dari situ, katanya. Kesangsianku padanya seolah tak pernah terbayar lunas. Selalu ada celah keping sisi yang membuat kepalaku penuh tanda tanya. Suatu kali ia menunjukkan luka bekas jahitan di punggung tangannya. 'Aku dulu anaknya berandalan, suka kelahi, gampang emosi.' Tapi ketika aku berniat memaki pengguna jalan yang memainkan klakson di jalanan yang sedang lapang, ia menepuk lenganku: kenapa harus marah-marah tho. 

'Unik ya kamu, banyak hal yang kontradiktif dari cerita sama perilakumu.' 'Ahh apa bedanya sama kamu.' Maka kembali kuingat tanggapan spontannya ketika kami membahas soal oatmeal dulu. Benar, aku punya keinginan yang kukejar sungguh capaiannya, tapi bahkan ternyata tidak aku tahu dimana garis akhirnya. Aku terus berlari dan berlari, berharap sambil berlari aku menemukan jawaban. Dalam diam, aku mengumpulkan potongan-potongan ambisi dan keinginan yang timbul tenggelam bahkan terpendam diinjak realita. Ahh tak banyak sebenarnya, tapi tak juga kutemukan jawab disana. Maka malam itu aku sadar, sepertinya aku harus mundur dulu sebentar, untuk mencari garis dimana sebenarnya aku harus mulai dan berhenti.

Komentar