TAK PERNAH TAHU

Ternyata ada yang lebih menyebalkan daripada direpotkan orang lain: tidak direpoti sama sekali, sehingga merasa kehadirannya seolah-olah tak berarti. 

Lagi-lagi ini senada dengan premis salah satu episode film serial korea yang sedang mengisi waktu-waktu senggangku hari-hari belakangan. Menceritakan salah satu keluarga yang ibunya akan pergi keluar kota selama 2 hari meninggalkan suami dan dua anak laki-lakinya bertiga di rumah. Sepulang dari luar kota, sang Ibu melihat semua hal di rumah tampak baik-baik saja dan sempurna sesuai dengan instruksi awal yang diberikan (tentu saja mereka bertiga membuatnya tampak demikian di detik-detik terakhir sebelum sang Ibu pulang). Bukannya senang, melihat itu semua justru sang Ibu tampak murung dan kesal. Usut demi usut ternyata sang Ibu merasa sedih lantaran suami dan anak-anak laki-lakinya sepertinya baik-baik saja bahkan tanpa kehadirannya: ia merasa tidak dibutuhkan dan kehadirannya di rumah itu dirasa tidak berarti lagi.

Maka mengertilah aku mengapa semalam aku merasa cukup emosional dan kacau. Belakangan aku mengirim lamaran di beberapa agensi serupa. Aku begitu bersemangat dan sangat ingin diterima di salah satunya (bahkan dua kalau memang boleh). Aku yakin betul, kemampuan yang aku miliki cukup bahkan sangat cukup untuk lolos kualifikasi: aku berani diadu dengan calon kandidat lain. Tapi ternyata semesta berkata lain, tidak ada satupun yang menghubungiku setelah aku mengirimkan berkas lamaran.  Ahh ada satu, tapi hanya sampai di tahap wawancara lalu tidak ada kabar lagi. Mereka sudah mengatakan sejak awal apabila tidak ada balasan, berarti pelamar dinyatakan tidak lolos. Sebenarnya aku tidak terlalu masalah juga tidak diterima sama sekali. Tapi entah malam itu aku sangat emosional dan menjadi marah pada diri sendiri. Tak ada yang ingin kulakukan, bahkan tidurpun tidak. Maka aku memutuskan untuk mematikan notifikasi di ponsel dan mulai menyekat diri dalam goa.

Maka dalam diamku, kembali kugali apa alasan terdalam aku mengirimkan lamaran-lamaran tersebut. Benar, memang pertanyaan ini muncul juga dalam interview. Yang tentu kujawab dengan jawaban diplomatis yang diusahakan tetap tampak tulus dan alami. Namun jawaban yang "dibuat-buat" itu bukan semata-mata hanya karena aku ingin lolos seleksi, tapi ternyata karena aku belum menemukan jawaban yang sebenarnya. Maka setelah lama kurenungi, kutemukan bahwa jawabannya adalah apa yang telah kutuliskan di atas tadi. Ya, aku ingin kehadiranku menjadi berarti untuk yang lain. Aku sadar ini karena aku tahu betul bayaran yang akan kuterima dari setiap job yang aku ambil dari agensi-agensi itu tidak banyak. Meski begitu, aku sungguh ingin tergabung disana dan memberikan apa yang aku bisa berikan. Ya, aku sungguh ingin merasakan menjadi berarti buat orang lain dari setiap job yang kuambil. Maka dengan tidak diterimanya aku di satupun dari mereka, aku merasa kehilangan harapan untuk setidaknya menjadi berarti seperti yang ada di bayanganku sebelumnya.

Tapi malamnya dengan membawa semua rasa kesal, sakit, marah, dan kecewa; akhirnya kuberi juga mereka tempat untuk tidur bersamaku di atas dipan. Sambil melamun memandangi langit-langit kamar, kuingat-ingat beberapa orang yang kuanggap berarti dalam hidupku dan alasan-alasannnya. Ahh ternyata tak banyak dari mereka yang sepertinya tahu betapa berartinya mereka dalam hidupku. Kurasa salah-satu-manusia-yang-seringkali-tak-bisa-tidur-lantaran-memikirkan-skripsinya-yang-tak-kunjung-selesai-dan-soal-masa-depannya (kita sebut saja si berani) tidak pernah tahu betapa dia menyelamatkanku di malam-malam kelam yang genting. Ketika tak ada satupun yang bisa kupegang dan kujadikan alasan untuk melanjutkan semuanya, yang kukatakan malam itu hanya satu: besok pagi aku mau bangun lagi buat lihat foto si berani pakai baju Bali. Juga seorang sahabat-yang-sering-merasa-tidak-bisa-mengendalikan-isi-pikiran-dan-perasaannya, kurasa dia tak pernah tahu betapa berartinya tanggapan-tanggapannya yang selalu tertarik atas cerita-ceritaku yang seringnya justru terkesan bodoh dan tak masuk akal: ia mendukung dari sisi yang benar dan membetulkan sisi-sisi yang rontok rusak dimakan rasa. Juga seorang-pelukis-yang-tak-pernah-berhenti-mencari-arah-hidupnya, kurasa dia berpikir bahwa aku tak pernah mengingatnya lagi. Padahal aku sangat bersyukur ketika menemukannya (ahh atau malah dia yang menemukanku pada saat itu?). Ia menarikku dari gorong-gorong yang kotor dan gelap. Ketika aku marah dan menolak, ia duduk disebelahku menemaniku membasahi diri dengan air gorong-gorong yang kotor. Ia membuat aku merasa layak untuk sekali-kali hidup bodoh dan kurang masuk akal: supaya kamu tahu saja gimana rasanya ada di posisi itu.

Maka malam itu aku sadar, mungkin memang kita masing-masing berarti buat orang lain, hanya kita saja yang tak pernah tahu karena mereka tak pernah mengatakannya secara langsung. Ya, anggap saja karena kita tak pernah tahu.

Komentar