TAKUT PADA DIRI SENDIRI


Takut pada sesuatu mungkin wajar, semua orang pasti mengalami. Tapi pernah nggak sih kamu takut pada dirimu sendiri?

Aku suka membranding diriku sendiri sebagai singa. Selain karena rambutku yg sering mekar seperti singa (apalagi setelah keramas), aku sering dianggap cukup galak oleh beberapa orang. Tapi bagiku, galak ataupun tidak sebenarnya aku hanya berusaha menyampaikan apa yang menurutku benar dengan caraku sendiri. Meski begitu, dari hatiku terdalam sejujurnya aku tidak berharap orang menjadi takut dan segan dengan apa yang dilabeli 'singa' ini.

Tapi di sinilah sepertinya awal mula cuplikan cerita menjadi menarik. Beberapa waktu yang lalu aku seringkali merasa gamang dalam menghadapi beberapa hal. Salah satu penyebabnya adalah karena aku kurang yakin bahwa yang kupikirkan adalah benar dan logis, yang menyebabkan aku kurang bisa meyakinkan diriku sendiri untuk mengambil keputusan dengan bijak. Maka seringkali aku melempar soal-soal yang sedang kuhadapi ke teman yang ini dan itu (ya benar-benar hanya 'ini' dan 'itu', jadi anggap saja 2 orang). Ada beberapa metode yang kugunakan ketika mencari jawab pada mereka: melempar soal dan mengemis jawaban paling logis nan minim resiko, atau meminta mereka menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan bernada serupa sebagai bahan refleksi yang menjadi jembatan berpikirku, atau meminta mereka merespon sesukanya setelah kulempar persoalan yang sedang terjadi.

Maka benar, dari kebiasaan menggunakan cara-cara itu, lama kelamaan aku merasa jadi punya alur berpikir logisku sendiri. Kini aku tak lagi khawatir akan label apapun yang menempel padaku, ya kalian boleh memanggilku singa atau apapun itu! Karena aku sudah menjadi lebih gagah dan berani seperti singa sekarang. Bukan hanya soal gesture badan dan tatap mata, aku yakin pikiran dan hatiku sudah lebih baja sekarang. Aku merasa benar-benar seperti singa di atas awan. Aku bisa mengaum sepanjang hari dan mendeklarasikan diri sebagai penguasa hutan (re: hidup) ku sendiri.

Tapi ternyata perasaan itu tidak bertahan lama. Di suatu titik tertentu, aku akhirnya sadar kalau aku sudah berjalan terlalu jauh dan mengaum teralu keras. Di situlah aku mulai merasa takut pada diriku sendiri. Maka di saat-saat tertentu dimana aku melalang dan mengaum begitu keras, aku mulai mencakar-cakar pipiku sendiri sambil menggigit tangan agar lolonganku tidak sampai terdengar oleh yang lain. Aku tetap terus melalang dan menabrakkan diriku ke banyak pohon dan semak belukar. Aku ingin mencari apa yang membuatku tiba-tiba menjadi begitu takut dengan diriku sendiri.

Setelah melewati beberapa bukit dan turunan lembah di hutan (re: hidup), akhirnya aku tahu apa yang menakutkan dari diriku: aku liar dan berbahaya. Aku singa lapar yang mengamuk dan lepas dari kandang. Aku lepas kendali dan melahap nyaris apa yang kuanggap bisa untuk kumakan. Kadang sebagian kuendus dan kujilati permukaannya saja, kadang kugigit ujungnya saja, kadang kulahap semua sampai habis hingga hanya tersisa sedikit darahnya saja di ujung bibir. Tapi aku tak pernah merasa puas dengan itu semua, aku terus berjalan menjauh dan mengincar daging-daging lain. Aku terus merasa layak dan benar untuk memangsa sebagai singa, sang penguasa hutan. Tanpa kusadari, ada banyak daging dan semak yang harusnya tak kulibas dan kumangsa, tidak semua bisa kutabrak dan kuobrak-abrik begitu saja.

Maka di sinilah aku, berlari sendiri masuk ke dalam goa di tengah hutan. Berusaha mengasingkan diri dari siapapun, agar tak makin banyak yang kumangsa dan kulalap dengan liar. Berusaha menahan kerasnya gelora nafsu taring yang haus dibasahi darah dan diadu daging mentah. Kadang-kadang kutabrakkan kepalaku ke dinding goa agar hilang separuh kesadaran lalu terlelap sejenak. Kadang kukerat taringku dengan batu-batu besar agar jadi tumpul ujungnya. Meski nyatanya masih ada juga satu dua binatang kecil yang menempel di langit-langit goa yang kuterkam dan kucabuti bulunya sebelum kusikat daging dan darahnya. 

Komentar