BUTUH APA?


Lama mengurung diri di dalam goa dan berusaha menekan nafsu dengan menyiksa diri ternyata tidak terlalu membantu. Alih-alih menjadi terkontrol dan berdaya baik, aku justru kehilangan daya dan makin resah. Beberapa laba-laba yang sebelumnya merajut sarang di langit-langit goa di atas kepalaku kini pindah entah kemana. Sepertinya mereka mulai terganggu dengan kehadiranku, meski sudah pernah kukatakan bahwa aku tak akan memangsa mereka yang tak berdarah merah dan berdaging kenyal. 

Karena tak tahan lagi, aku meronta dan mengaum sekuatnya. Aku marah. Ya, aku marah pada diriku sendiri. Aku tahu memang kadang turunan rasa takut bisa menjadi amarah. Tapi aku tak pernah menyangka aku akan semarah ini. Seharusnya dinding goa ini cukup tebal dan kuat untuk meredam aumanku. Aku tak ingin siapapun mendapati aku dalam keadaan sekacau ini seorang diri. Ya, meski begini aku tetaplah singa sang raja hutan! Raja tidak seharusnya terlihat lemah dan berantakan. Kalaupun sedang tak baik-baik saja, seharusnya tak perlu ditampakkan dan diperlihatkan pada siapa-siapa. 

Tapi ternyata perhitunganku meleset. Entah karena ternyata dinding goa ini ternyata tak setebal dan sekuat itu meredam suara, atau pintu goa yang ternyata punya celah yang cukup lebar tapi tidak kuketahui, atau aumanku yang terlampau keras; yang jelas satu fakta ini yang kutahu: aumanku terdengar oleh penduduk hutan lain di luar goa. Suatu kali, batu penutup goa digulingkan secara paksa oleh beberapa penduduk hutan. Mereka bilang beberapa hari belakangan mereka mendengar sesuatu dari dalam goa, mereka pikir hanya perburuan rantai makanan biasa. Tapi perkelahian rantai makanan tak selama itu harusnya. Maka dengan malu kubuat badanku setegak mungkin di hadapan mereka, kukatakan bahwa aku baru melalui masa sulit berkelahi sengit dengan singa lain, hingga akhirnya singa lain itu pergi. Ahh, seandainya mereka tahu bahwa singa lain itu adalah isi kepalaku sendiri. Mereka lalu bertanya apa yang mungkin kubutuhkan dan bisa mereka bantu. Tidak, aku tidak butuh apa-apa saat ini, lalu kupersilakan mereka pergi dan meninggalkanku sendiri.

Di situ aku tahu bahwa aku tak bisa lagi mengaum kencang-kencang untuk meluapkan marahku. Maka kududukkan saja badan dan isi kepalaku, kubiarkan mereka berlarian kemana mereka mau. Maka lari isi kepalaku berlabuh pada satu pertanyaan: ahh benar juga, jadi sebenarnya apa yang kubutuhkan sekarang? Dari sekian banyak usaha yang telah kulakukan, apa yang aku perlukan sebenarnya? Dari rasa takut yang mengakar dan meledak menjadi amarah, apa yang aku inginkan sebenarnya? Maka diam-diam aku merintih dan menangis pelan-pelan, aku mengaku kalah sebagai raja hutan yang hilang arah. Ahh, sepertinya aku butuh pawang.

Komentar