MERAYAKAN RASA


Siapa yang menyangka kita akan bertemu di ruang ini. Ruang tempat ratusan bahkan ribuan orang hilir mudik mencari apa yang masing-masing cari. Tapi juga tak bisa dipungkiri turunan alasan dan tendensi masing-masing pasti beragam. Ada yang bilang, tidak ada pertemuan yang tanpa maksud, tidak ada pertemuan yang kebetulan. Maka akupun amin dengan pertemuan kita yang mungkin memang bukan tanpa maksud dan bukan karena kebetulan.

Lalu kita bertatap muka seperti dua orang yang sudah lama saling mendamba (minimal aku dalam doa-doa malamku, dan kamu entah di antara amin yang kau ucapkan sebelum tidur atau sekedar sebelum makan). Di tengah kita ada 2 piring dan 2 gelas yang isinya kita bayar masing-masing, tapi rasanya yang kita cerna jauh lebih banyak dari itu: kita menyesap cerita masing-masing hingga kenyang dan kembung betul rasanya di perut dan dada. Kemudian dengan berat hati kita menyudahi temu yang mulai dijenuhi oleh tukang nasi goreng yang tak kunjung dihargai karya tangannya dengan rupiah.

Di waktu-waktu berikut kita mulai menantang cupid, siapa yang lebih cepat membidik dan membangun rasa: kita berdua atau dia. Maka diam-diam kita merancang banyak temu, siapa tahu kita bisa mendahului cupid yang mungkin sedang tertidur atau makan siang atau bahkan sedang sibuk membidik sejoli lain. Tapi dibeberapa pertemuan nampaknya kita kalah poin dengannya, di saat masing-masing dibuat bergetar hebat hanya dalam satu sentuhan tangan saja. Mulut kita terkatup, tapi organ-organ dalam tubuh terpompa darah dengan derasnya hingga berdetak hebat: ini pasti ulah si cupid!

Tapi setelah temu ke enam kita terpaksa mengulur jarak ratusan ribu hasta. "Sebulan aja kok. Kamu jangan nakal ya," janjimu di ujung temu yang menggantung. Lalu aku tersipu, ahh sebenarnya bukan karena rayumu, tapi karena sedari tadi ternyata diam-diam penjaga kos sedang duduk dan menguping kita dari balik pagar. Tapi aku tak peduli, perutku penuh kupu-kupu dan dadaku dibesarkan oleh janjimu. Ya, sebulan lagi kamu akan kembali kesini lalu kita menantang cupid lagi bersama.

Tapi begitulah manusia, perasaannya mudah dibolak-balikkan. Aku tak menyalahkanmu atau menyalahkan cupid yang mungkin berkhianat pada cerita kita. Tak lama setelah kamu pergi, tiba-tiba kamu datang dengan sebuah pengakuan bahwa di tempat asalmu sana sebenarnya ada kupu-kupu lain yang sedang kau jaga hatinya. Aku sudah memutus hubungan dengannya sejak lama tapi dia tidak mau melepaskan bagaimanapun aku mencoba, jelasmu waktu itu. Aku serius sama kamu, aku mau menulis cerita baru sama kamu. Tunggu aku selesaikan soal ini dulu ya, tolong jangan pergi. Tandasmu yang akhirnya kupercaya juga. Maka berpegang pada janji di ujung kalimatmu tadi dan janjiku padamu untuk tidak berbuat nakal selama kamu pergi, aku menunggumu kembali sambil membawa kabar.

Kemudian malamnya sanakmu menghubungiku, ia bertanya bagaimana aku bisa mengenalmu dan apa rasaku padamu. Belum tahu rasanya mbak, belum pernah tak jilat, jawabku sekenanya. Meski tertawa-tawa, sanakmu tetap mendesakku menjawab. Udah mbak, apapun perasaanku ke dia sekarang itu jadi tanggung jawabku bukan tanggung jawab mbak sekeluarga; dan ini sudah jadi resiko yang harus kutanggung karena aku mau mengenal dia. Silakan diselesaikan dulu masalahnya dalam keluarga mbak dan pasangan dia di sana. Telepon berakhir dengan kesimpulan menggantung. Ya, memang sengaja kubiarkan begitu agar aku tak dilibatkan masuk terlalu dalam pada persoalan ini. Aku enggan dijadikan opsi sebagai papan hantam ketika persoalan ternyata sudah runyam.

Sembari menunggumu, kadang aku iseng menggoda cupid yang sekali-sekali muncul di sekitarku. Kutantang ia menembakkan panahnya kepada pria lain yang dia pikir lebih baik darimu di hadapanku. Cupid hanya menjawab dengan tertawa garing, entah apa maksudnya. Ahh mungkin memang benar, tertawa adalah jawaban paling aman dan bisa jadi paling bijak dilontarkan ketika hendak menghindari konflik dan menjaga jarak aman dari sebuah masalah.

Benar kata orang, waktu berjalan paling lambat ketika sedang ditunggu. Meskipun sudah coba kuisi hari-hariku dengan kegiatan ini dan itu, tapi awal bulan yang kau janjikan akan kembalimu tak kunjung tiba. Maka di suatu sore, aku iseng saja membuka media sosialmu yang belum juga kuikuti hingga saat ini. Dan benar saja rupanya kamu baru mengunggah sesuatu beberapa menit yang lalu. Detik itu, detik dimana aku memutuskan untuk membuka unggahanmu adalah waktu yang cukup membuat perasaanku kacau namun tak pernah jua kusesali sama sekali keputusanku itu. Ya, kau mengunggah video kupu-kupumu sedang dirias dengan baju kebaya warna merah melekat di badannya. Mbak boleh mundur dikit nggak, cantiknya kelewatan: tulismu disitu. Ahh, rupanya kalian berbaikan dan sepertinya akan menyelenggarakan acara besar keluarga (?) Aku tak tahu. Yang aku tahu hanya satu, kamu ingkar padaku dan cupid yang menemani cerita kita sebelumnya. Di sana kamu memutuskan untuk mengikat janji dengan cupid lainnya yang sepertinya sekarang sedang pesta makan dan minum enak merayakan suksesnya panah yang dibidiknya.

Maka di sinilah aku sekarang, duduk berdua termangu-mangu bersama cupid (yang sedari tadi tak berhenti menatapiku dengan menyesal karena kalah bertarung panah dengan cupidmu di sana). Lagi-lagi aku tahu, ini mungkin bukan salahmu, atau salahku, atau cupid di sampingku. Ini hanya soal perasaan manusia, yang mudah terbolak-balikkan keadaan. Dan kini yang ingin kulakukan hanya merayakan perasaanku dengan menyesap nikotin yang terbakar dengan sengaja, berdua bersama cupid yang agak kulai sayap putihnya.

Komentar