IRI



"Setelah ketemu kamu aku berhenti cari yang lain lagi."

Seorang pria datang mengaku di depan mata, di tangannya sepotong kain jeans bergambar potret diri ukuran sepuluh centi hendak diberikan padaku. Bukan takut apalagi luluh, justru rasa iri yang muncul di deretan pertama berdiri di ubin antara aku dan pria itu. Ya, aku iri betul pada pria ini!

Benar, memang belakangan ada beberapa hal yang mengganggu pikirku. Soal bagaimana seharusnya hidup, apa yang harusnya dilakukan dan tidak, bagaimana seharusnya menata rencana hidup kedepan, dan sebagainya dan sebagainya. Awalnya biasa saja, pertanyaan-pertanyaan ini memang sering mengekor dan mengintip di sela-sela hari. Tapi kurasa ia bertumbuh, bulunya bertambah lebat dan dagingnya makin tebal. Maka sebagai ekor yang awalnya kecil saja, ia mulai membesar dan membebani. Bahkan saking besarnya kini ia tidak lagi sekedar mengintip, tapi mulai menutup hari yang akan dilalui. Hingga kami sampai pada sebuah malam yang tidak tenang, di bawah pendar lampu tidur kududukkan ia di hadapanku dan kutanya: kalau malam ini kita mati, kau mau apa? Ia diam. Aku kesal. Tapi yang lebih membuatku kesal, setelah pertanyaan itu coba kubalik ke diriku sendiri, aku juga terdiam dan tidak menemukan jawaban: sekarang akupun tak tahu arah dan tujuan hidupku.

Maka kumulai hari berikutnya dengan seminimalnya tenaga dan usaha untuk hidup. Bangun, mandi, makan, pakai bedak, merapikan rambut, ganti baju, berangkat kerja, kerja (dengan tetap diusahakan agar nampak baik-baik saja untuk menghindari banyak pertanyaan basa-basi rekan kerja), pulang, istirahat, mandi, menyapu sekenanya, misa, makan sesedikitnya (kalau hidup sudah berat, minimal badanku tidak perlu ikut bertambah berat, kan?), bermain ponsel, lalu menangisi hidup sampai tertidur. Semua tampak sederhana dan biasa saja tapi terasa berat betul. Ahh jadi pada siapa lagi aku harus bertanya soal ini? Semesta terasa sedang tak berselera bekerjasama denganku akhir-akhir ini.

Lalu di sinilah akhirnya aku berakhir. Di atas dipan di tengah kamar, tapi sungguh aku merasa terpojok dan sendiri. Maka di penghujung hari, dengan sisa tenaga seadanya, kucoba sebisanya melipat tangan di atas bantal yang kupangku. Dengan agak malu-malu kupanggil Ia dan aku mengadu: Tuhan, bantu hamba-Mu mengenali jawaban atas pertanyaanku dari tanda-tanda yang ada di semesta, mau kau jadikan apa sebenarnya hamba-Mu ini di dunia? Lalu kututup dengan tanda salib dan kurebahkan segalanya bersama kepala di atas bantal kecilku: ahh iri sekali rasanya, setidaknya pria itu tahu apa yang ia inginkan.

Komentar