MATI BESOK


Beberapa hari yang lalu tiba-tiba terlintas di kepala, kalau aku mati besok kira-kira gimana ya? Ya nggak gimana-gimana, sisi lain pikiran menyahut. Eh tapi benar juga, kalau aku mati besok kira-kira akan menyesali apa yang belum kulakukan/kucapai nggak ya? Ahh memangnya apa yang mau kulakukan dan aku capai di hidup ini? 
Maka pertanyaan awal soal kematian tadi berujung pada tujuan yang mau dicapai dalam hidup. 

Lalu kuingat-ingat apa sebenarnya yang menggerakkan dan membuat aku bertahan hidup selama ini (atau minimal momen yang membuat aku merasa benar-benar 'hidup'). Beberapa memori berkelebat di kepala, lalu tertangkap 1 yang bayangannya paling jelas. Saat kuliah, banyak hal terasa begitu menyenangkan. Bisa aktif berkegiatan dan 'melompat' kesana kemari adalah hal yang sangat menyenangkan. Sekarang di sini, setengah jam lagi bisa sudah ada di tempat lain dengan kegiatan berbeda, dua jam berikutnya sudah berpindah lagi di kegiatan lainnya. Terus main kejar-kejaran dengan waktu, setiap kegiatan dilakukan sebisa-bisanya meski dengan fokus dan tantangan berbeda. Aku bahkan rela dan tidak takut mengorbankan banyak hal: uang, waktu, pertemanan, keluarga, kesehatan, dan sebagainya dan sebagainya.

Mengutip kata-kata seorang kakak kelas, waktu itu motto hidup yang kupegang "nggetih tenanan", berdarah beneran. Yang ada di kepalaku, makin deras darahnya maka harusnya buah yang aku dapat suatu hari nanti akan makin baik. Maka meski 'berdarah' dan terasa cukup menyakitkan, semua luka itu justru membuat merasa semakin 'hidup'. Tidak ada yang akan sia-sia, pikirku.

Menjadi sesuatu; sebuah benang merah yang tiba-tiba kutemukan dibalik ingatan akan kegiatan-kegiatan yang kurasa menyenangkan itu. Setelah kupikir-pikir lagi ternyata sebenarnya bukan kegiatannya yang aku senangi, tapi perasaan dan posisi ketika aku melakukannya. Ya, aku merasa menjadi sesuatu dan bernilai sebagai sesuatu ketika melakukannya. Ketika aku mengusahakan nilai yang terbaik di kelas (ditengah kegiatan organisasi lain yang menumpuk) misalnya. Aku ingin bernilai sebagai mahasiswa, mahasiswa yang aktif organisasi tetapi IPK nya tinggi. Begitu pula pada aspek-aspek lainnya, aku selalu ingin menerapkan prinsip yang sama. Meski tidak mudah, pada akhirnya aku masih (hampir selalu) diberi kesempatan bermimpi dan melihat peluang untuk memenuhi dan mencapai idealismeku.

Tapi semua terasa berbeda setelah aku melepas statusku sebagai mahasiswa. Bahkan sebelum aku mencari peluang untuk memenuhi idealismeku, pandanganku akan banyak hal rasanya makin buram. Ada banyak hal terjadi di luar ekspektasi, ada banyak keyakinan yang selama ini kuanggap benar tiba-tiba menjadi mutlak salah di depan mata. Dunia rasanya mulai tidak banyak berpihak padaku. Maka, alih-alih menjadi sesuatu; membangun mimpi saja rasanya aku takut sekarang. Jadi sepertinya kalau sekarang aku ditanya: "bagaimana kalau tiba-tiba aku mati besok?" Mungkin jawabannya akan benar-benar: "ya sudah nggak gimana-gimana. memangnya mau bagaimana lagi?"

Komentar