INVALID


Beberapa hari yang lalu seseorang mengkritik caraku menghadapi masalah. Bisa dibilang masalah itu masalah kami, karena objeknya sama. Ia mengatakan bahwa cara yang aku gunakan kurang tepat, seharusnya aku menggunakan cara yang dia biasa gunakan. Aku agak jengkel juga mendengarnya, tapi tidak bisa mengatakan apa-apa karena ia menyampaikannya lewat perantara. Lagi pula menurutku ia belum terlalu mengenalku. Maka harusnya ia tidak berhak mengatakan hal itu padaku.

Tapi pulang dari gereja kemarin, tiba-tiba aku jadi teringat kalimat yang selalu kuulang-ulang disetiap doaku akhir-akhir ini: "banyak hal yang aku tidak pahami dan tidak aku mengerti di dunia ini, maka aku mohon tuntunan dan petunjuk-Mu selalu." Benar, sejujurnya belakangan aku cukup kalut karena merasa kabur arah dan pegangan dalam hidup. Mengingatnya membuat aku tiba-tiba memikirkan kembali kritik yang disampaikan padaku beberapa hari yang lalu. Ahh, apa sebenarnya itu adalah salah satu bentuk tuntunan dan petujuk dari-Nya? Lagi pula kritik yang disampaikan tujuannya adalah untuk membangun subjek yang di kritik. Maka meski masih jengkel dan kesal karena merasa dihakimi oleh orang yang belum terlalu dikenal, aku merasa bersalah juga sudah mengabaikan dan menyia-nyiakan yang-kuanggap-petunjuk-dari-Tuhan itu. Pada saat itu aku menganggap bahwa perasaan kesal dan marahku itu tidak valid. 

Namun alih-alih merasa lega, setelah menyadari bahwa perasaanku sebelumnya tidak valid, aku malah jadi semakin sedih dan bingung. Aku jadi semakin marah dan mulai mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan tentang perasaan-perasaanku yang "dianggap" tidak valid. Makin banyak yang aku ingat, makin aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku merasa diriku sendiripun tidak valid sebagai manusia.

Soal valid tidak valid ini terus kubawa-bawa kemana-mana. Ketika bangun tidur, ketika mencuci baju, ketika mencari jajanan, ketika makan, ketika mandi, ketika menonton film, ketika istirahat. Membuat aku lelah, tapi aku merasa tidak akan meletakkannya sebelum menemukan jawaban yang tepat. Maka di siang hari yang panas betul akibat mendung sebelum hujan, aku merebahkan diri di atas kasur. Berharap soal ini bisa kurebahkan sejenak juga disamping kiri atau kanan atau atas atau bawah badanku di kasur. Entah bisikan dari mana, tiba-tiba ada pertanyaan yang masuk ke pikiranku.

Tujuan kalian, kamu dan dia -yang mengkritikmu- apakah sama? 

    Oh ya, tentu sama. Karena masalah kami sama dan kami ingin menyelesaikannya. 

Jadi apakah menurutmu perkataannya ketika mengkritikmu tujuannya adalah agar masalahnya selesai? 

    Hmm, kurasa iya, Tapi kan itu menyakiti aku!

Jadi seharusnya perasaanya ketika menyampaikan kritiknya padamu menurutmu valid?

    Yaa mungkin valid, tapi dari sisi dia seorang.

Oke. Kalau dua kereta punya tujuan ke Malang. Yang satu ada di rel A, satunya di rel B. Apakah kedua rel tersebut adalah rel yang benar?

    Harusnya kalau tujuannya sama dan relnya sama-sama mengarah ke sana, ya benar.

Jadi kalau perasaan dia-yang-mengkritikmu-dalam-rangka-menyelesaikan-masalah adalah valid dari sisinya, perasaanmu  (yang tentu juga mengarah ke penyelesaian yang sama) apakah valid?

    Seharusnya valid, dari sisiku.


Maka percakapan singkatku dengan sesuatu atau seseorang atau sesosok yang tiba-tiba siang itu, membuat aku sadar bahwa segala perasaan valid dari sisi dan sudut pandangnya masing-masing. Dan, betapa pentingnya menerima perasaan kita sebagai sesuatu yang valid: itu yang membantu kita menyadari tembok-tembok batasan yang membuat kita hidup sebagai sebaik-baiknya diri berdasarkan sudut pandang kita.

Komentar