STANDART BARU



Semalam sebelum tidur aku sempat merenung sebentar. Ada beberapa hal yang berkelebat di kepala, tapi sepertinya intinya hanya satu: soal pentingnya penampilan. Sebenarnya ini bukan pemikiran yang tiba-tiba muncul begitu saja. Sorenya di hari yang sama, aku sempat berkontak dengan seseorang (aku tidak perlu menyebutkan dia siapa, yang jelas hubungan kami cukup atau bahkan sangat dekat). Setelah membahas beberapa hal, tiba-tiba ia mengomentari dan menertawakan cara berpakaianku. Bagaimana model berpakaianku yang ditertawakannya? Ya, aku mengenakan celana olahraga pendek dan kaos oblong bekas kepanitiaan SMA yang bagian bawahnya kumasukkan ke dalam celana. Dia bilang, cara berpakaianku itu mirip seperti anak SD. Mengapa aku memilih untuk memasukkan bajuku? Sebenarnya tak ada alasan spesifik, hanya agar ringkas dan mempermudah pergerakan ketika beraktivitas di dalam kost saja (selain juga karena kaos yang dimasukkan membuat lekuk tubuhku nampak lebih jelas, dan ini tentu membuatku senang kadang-kadang. Tentu yang ini tidak kusampaikan padanya). 

Mungkin memang aku yang terlalu sensitif atau terlalu mengambil hati atas beberapa perkataan yang sebenarnya tak perlu kupikirkan. Tapi ini bukan kali pertama ia mengatakan hal-hal yang serupa padaku, dan sejujurnya ini membuatku cukup terganggu tapi aku terlalu enggan mengatakannya. Dari situ aku jadi berpikir, jadi sebenarnya bagaimana standart sesuatu dikatakan baik atau menarik atau bagus? Karena tidak bisa dipungkiri juga kita semua pasti suka sesuatu yang baik dan menarik dan bagus, bukan? Maka malam itu pikiranku hanyut jauh disana hingga menitikkan air mata dan beringus sedikit (ini cukup mengganggu sejujurnya, karena hidungku jadi agak buntu dan susah tidur).

Lalu kuingat dalam tidurku aku bermimpi mantan sekretaris yang posisinya saat ini kutempati berdandan begitu apik dan duduk dengan anggun di kursi yang biasa kududuki. Di kehidupan nyata belum pernah aku melihat ia berdandan seperti itu. Tiba-tiba saja itu membuat dadaku mendidih karena menyadari bahwa penampilanku selama ini (khususnya selama bekerja sebagai sekretaris) masih kurang oke dan masih perlu banyak perbaikan dan pengembangan. Jika ditanya apakah aku ingin bisa sampai kesana, tentu saja aku ingin. Sangat ingin! Karena seperti yang dikatakan sebuah girlband pada lirik salah satu lagunya yang akhir-akhir ini sedang naik daun, yang berbunyi: 

    "...Penampilan itu menguntungkan. 

    Selalu hanya gadis cantik saja

    Yang 'kan dipilih menjadi nomor satu..."

Tentu saja aku sepakat dengan cuplikan lirik itu! Beberapa teman sekolahku yang berpenampilan menarik kini mencari uang dengan bermodalkan parasnya yang menarik. Maka ketika ia mendapat banyak uang dari sana, ia bisa makin mempercantik diri dengan produk-produk kecantikan lain yang lebih mutakhir. Kini kecantikan bisa dibeli asal ada uangnya! Maka yang cantik akan semakin cantik. Ahhh, mungkin aku terlalu emosional dan tak berpikir dengan logis disini. Tapi kalau kau membaca ini, entah berapa persenpun kurasa kau juga (agak) sepakat denganku, bukan? Meski memang soal pekerjaan dan uang tidak pasti melulu soal paras yang cantik dan menarik, tapi juga soal skill atau kemampuan lain yang kudu terus dipelajari, dan juga soal personal branding (yang juga perlu diperlajari tentunya). Ahhh, tapi kalau variabel lain dianggap setara, yang berparas lebih cantik juga biasanya pasti jadi prioritas! (Oke, maaf aku mulai emosional lagi).

Tapi siang ini aku menonton sebuah video singkat. Video ini mengulas sedikit soal hidup biasa saja yang bahagia. Sebenarnya poin utama yang dibahas adalah soal keberhasilan dan kesuksesan yang salah satunya dilihat dari harta kekayaan dan pengakuan. Ia mengatakan bahwa sangat tidak apa-apa untuk menjadi biasa saja, karena mungkin memang yang ditakdirkan untuk hidup luar biasa di dunia ini hanya 1% orang. Tentu bukan berarti kita boleh menyerah begitu saja apabila kita merasa bukan bagian dari 1% itu. Usaha akan membuahkan hasil, itu benar. Tapi ketika kita sudah berusaha sekuat tenaga, tapi belum juga bisa masuk ke dalam bagian 1% itu, kita tidak perlu kemudian menjadi kecil hati dan menyalahkan diri sendiri. Karena dalam mencapai sesuatu, selain usaha kita sendiri masih banyak faktor lain yang mendukung dan ambil andil di dalamnya. Jika dikembalikan pada apa yang sedang menjadi bahan permenunganku tadi, mungkin memang ada 1% orang-orang di dunia ini yang ditakdirkan untuk berparas cantik dan menarik. Jika aku sudah berusaha keras untuk kesana tapi belum juga bisa, maka seharusnya itu tidak masalah. Karena selain usaha kita sendiri, ada banyak hal lain yang akan memengaruhi penampilan kita. 

Terlalu sibuk bersedih-sedih dan merenungi diri karena merasa belum bisa menjadi bagian dari 1% itu ternyata membuat aku lupa bahwa standart kecantikan dan paras menarik berbeda-beda. Memang betul ada beberapa tipe tertentu yang dibentuk dan dicekokkan oleh media, yang kemudian disebarkan dalam iklan-iklan produk kecantikan sehingga seolah-olah menjadi parameter penampilan yang sempurna. Tapi seperti kata Efek Rumah Kaca dalam sebuah lagunya: "Pasar bisa diciptakan." Standart baru bisa dibuat dan diciptakan!

Komentar