ALPHA


Semalam setelah berusaha sebisaku untuk mengumpulkan nyali, akhirnya kuputuskan untuk datang kerumah pacarku menemui orang tuanya. Ibunya baru saja keluar dari rumah sakit untuk menjalankan kemoterapi pasca operasi beberapa bulan lalu. Sebenarnya aku punya celah alasan untuk tidak datang, karena toh ternyata rumah sakit membuat aturan ketat melarang orang selain penjaga pasien untuk masuk. Tapi tempo hari pacarku mengirimkan sebuah paket dibungkus tas kertas coklat, "
Itu hadiah valentine buat papa mama. Titip kasihkan ke papa mama ya kalau pas kesana." Maka mau tak mau, aku harus menemui orang tuanya juga (meski memang secara adab aku tetap perlu datang menjenguk bagaimapun caranya, yaa sekalian menjalin dan memupuk relasi dengan orang tuanya juga). 

Bukan, aku bukan tidak mau menemui orang tuanya, tapi sungguh nyaliku selalu ciut setiap kali akan melakukannya. Kemampuan sosial dan basa-basiku yang nilainya masih mengejar KKM ini membuat aku perlu mempersiapkan diri sungguh sebelum bertemu orang yang kumasukkan dalam kategori "penting", termasuk orang tua pacarku. Aku tahu betul, sebenarnya yang menjadi ketakutan terbesarku adalah membuat mereka kecewa atau bahkan menjadi tidak suka kepadaku, entah karena sikap atau perkataan atau apapun yang ada padaku. Aku benar-benar takut! Apalagi kalau sampai aku melakukan kesalahan di hadapan mereka. 

Meskipun sempat hampir kuurungkan niatku untuk datang setelah mendapat kabar bahwa hari itu kondisi Ibunya drop lagi (dan aku takut kehadiranku mengganggu), tapi toh akhirnya aku sampai juga di depan rumahnya. Masuk, berbasa-basi, makan beberapa suap chinese food suguhan makan malam (katanya aku harus bertanggung jawab membantu menghabiskan, karena yang mengirimi pacarku), cerita sana sini, pamit lalu pulang. Oh, aku juga sempat ikut doa keluarga besar mereka via daring dan juga sempat dikenalkan disana. "Kenalkan, ini Vena pacarnya Dimas." Papanya tersenyum sambil mengarahkan kamera room pertemuan daring kepadaku.

Pulang dengan rasa bangga dan lega betul membuat aku (agak) tidak peduli pada jaket tanpa mantel yang mulai basah disiram gerimis kota malam itu. Namun cepat-cepat juga kutancap gas pulang ke kost, bukan sekedar untuk menghindari gerimis tapi untuk menceritakan padanya betapa hebatnya aku hari itu. Maka setelah memasukkan motor dengan terburu-buru ke garasi, cepat-cepat aku cek ponsel di kantong depan tas. Tapi ahh rupanya benar, tak bolehlah kita berharap terlalu pada sesuatu yang tak pasti. Ya, tak ada balasan apapun darinya. Bahkan setelah aku naik ke kamar, berganti baju, menghapus riasan wajah yang belum luntur juga meski sudah tersiram gerimis (harusnya ini bisa jadi bukti valid bahwa aku mempersiapkan pertemuan dengan orangtuanya dengan begitu cermat, kan?). Maka setelah kuselamati diriku sendiri yang sangat berani ini, aku membawa kebanggaanku yang tak bersambut itu kedalam selimut dan keatas bantal.

Tengah malam, jam dua belas lewat sedikit aku terbangun tiba-tiba oleh notifikasi pesan. Sambil meraba-raba kasur disekitar untuk mencari ponsel, aku heran juga mengapa malam itu aku cukup sensitif pada sekedar bunyi notifikasi pesan. Ahh ternyata pesan dari mbak penjaga kos, "Mba Vena tadi baru keluar ya?" "Iya mba". Seingatku ketika aku keluar dan kembali ke kost tadi mbaknya tidak ada di kost, darimana dia tau kalau aku tadi keluar ya? "Tadi waktu pulang, pagernya nggak digembok ya mba?" ASTAGA! Apakah iya? Eh masak sih? Biasanya setelah memarkir motor, aku akan selalu otomatis memasang gembok lagi di pagar kost, seperti yang selalu kulakukan selama lebih dari setahun ini. "Soalnya tadi ada anak kamar lain yang lapor kalau gemboknya nggak ada. Aku barusan pulang terus nyari ternyata ada di motornya Mba Vena." SIAL! Maka validlah dugaan mbak penjaga kost bahwa akulah yang lupa memasang gembok pagar. Mungkin dia agak kesal juga padaku, karena tentu sangat rawan meninggalkan pagar kost dengan posisi tidak tergembok malam-malam, apalagi pada saat tidak ada penjaga kost di dalam. Ahh benar juga, apakah sepeda motor dan barang-barang lain aman? "Maaf banget mba. Kayaknya tadi aku kelupaan, langsung naik ke kamar. Tapi nggak ada kehilangan kan mba?" Meski khawatir aku membuat mbak kost kesal padaku karena kelalaianku, aku lebih khawatir ada barang hilang akibat kealpaanku ini. "Ini lagi aku tanyain mba, ada 1 motor yang ngga ada. Aku ngga tau, motornya lagi dibawa anaknya keluar atau gimana." Ahhh sial, bagaimana jika motornya hilang? Tapi kemungkinan untuk hilangnya satu dari beberapa sepeda motor yang terparkir apakah mungkin? Ya mungkin saja lah Ven! Eh tapi berapa motor yang terparkir waktu aku pulang ya? Ahh, aku benar-benar tak ingat. Amarah dan rasa kesal ini menghanguskan ingatan dan akal warasku sepertinya. Sial sial!

Maka pukul 00.38 aku terjaga dengan gelisah. Banyak suara sahut-sahutan di kepalaku, membodoh-bodohkan dan beberapa menenangkan. Karena terlalu ribut di dalam, maka akal sehat dan logika kupaksa bekerja disitu. Oke, sangat manusiawi melakukan kesalahan. Aku tahu betul bahwa kealpaanku ini terjadi karena tadi aku sedang bangga di atas awan sekaligus kesal pada ekspektasiku sendiri. Sangat wajar jika akhirnya nanti mungkin mbak kost kesal padaku, karena memang aku salah. Tapi tidak perlu pusing soal itu, karena itu tidak akan terus terjadi selamanya, ya rasa kesal bertahan sebentar saja biasanya. Sekarang mari kita pikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Apabila benar ada motor yang hilang, aku harus siap menanggung resikonya: membantu pengurusan barang hilang di kepolisian bahkan mungkin mengganti rugi. Jika ganti rugi, apakah aku siap? Harus siap dong! Kan ini kesalahanku. Oke, selain itu apa lagi? Sepertinya sudah. Karena tidak ada yang bisa kulakukan lagi sebelum ada kabar dari si empunya sepeda motor, maka sia-sialah jika aku membuang tenagaku untuk sedih dan pusing. Oh ya, soal melakukan kesalahan dan kecerobohanku ini, kutekankan sekali lagi, diriku, melakukan kesalahan itu wajar dan sangat manusiawi. Tidak perlu terlalu khawatir, apalagi khawatir dibenci atau tidak disukai. Stop Vena, kamu tidak bisa hidup dengan cara seperti itu. Kamu harus dewasa! Toh ketakutanmu tidak disukai papa dan mamanya tidak terbukti kan tadi? Jadi bukti valid apa lagi yang kamu butuhkan?

Maka setelah kuangkat telepon yang masuk tiba-tiba dari pacarku (yang katanya terbangun dari tidurnya tiba-tiba juga) dan menceritakan sedikit apa yang terjadi, aku memaksa mataku terpejam. Aku harus segera tidur, karena ada hal yang harus kuhadapi lagi besok pagi.

Komentar