MIMPI

Mengapa Anjing Melolong Saat Bulan Purnama? - Bobo 

Kutulis surat terbuka ini untuk laki-laki yang kuajak bertengkar malam Jumat Kliwon pekan lalu. Malam yang sakral menurut beberapa orang, khususnya orang Jawa. Karena aku (dan kamu) juga orang Jawa, kurasa bolehlah aku menganggap malam itu sakral buatku juga.

Ahh, sebelumnya perlu kusampaikan ini dulu. Aku menulisnya disini bukan semata agar dilihat siapa-siapa. Bukan juga karena aku terlalu berani dan terbuka membeberkan yang ada di kepala. Tapi justru karena nyaliku tak sebesar itu untuk menyampaikannya secara langsung padamu di ruang obrolan kita.

Setelah kita bertengkar, kamu bilang kalau kamu nggak akan terus 'ada di bawah', suatu saat kamu akan melejit dan jadi jauh lebih baik dari yang sekarang. Aku percaya. Tapi yang membuatku tersentak adalah pernyataanmu setelahnya. "Waktu nanti aku 'disana', kira-kira kamu dimana? Aku juga mau kamu punya mimpimu, dan aku mau tahu mimpi-mimpimu kedepannya. Kamu nggak takut minder nanti, kalau bahkan kamu nggak tahu apa yang kamu mau?" Terlalu keras! Tapi toh kamu berani juga mengatakannya padaku, setelah terang-terangan kukatakan bahwa aku iri setengah mati pada pacar adikmu.

Tapi setelah beberapa saat berdiam diri dan mendinginkan kepala, aku jadi sadar kalau sudah cukup lama aku jadi orang yang takut punya mimpi. Benturan dunia dan kenyataan membuat aku jadi lebih realistis dan rasional (setidaknya menurut takaran pribadiku). Aku nggak berani lagi bermimpi tinggi seperti waktu masih sekolah dulu, dimana aku berani pasang target tinggi bahkan siap badan untuk ditabrak sana-sini. Ahh kangen juga rasanya sama masa-masa itu. Masa dimana yang ada dipikiranku hanya bagaimana bisa mendapat nilai yang baik, tapi kegiatan organisasi tetap jalan (dulu sebagian besar guru dan orang tua siswa merasa dua hal ini adalah yang mustahil untuk dijalankan dengan seimbang bersama-sama). Jadi aku mau mendobrak apa yg dianggap biasa. Keliatan sok jagoan banget yaa aku waktu itu? Geli juga kalau diingat-ingat.

Untuk mencapai apa yang aku mau, banyak hal yang tetap harus dikorbankan, aku tahu. Hubungan sosial dan pertemanan memang bukan prioritasku saat itu. Bahkan boleh dibilang hubungan sosial yang betul-betul kubangun hampir sebagian besar hanya dari dan untuk keperluan organisasi. Bahkan seorang kakak kelas pernah begitu penasaran dan bertanya apakah aku tidak punya teman. Pertanyaan yg cukup menggelitik. Tapi aku nggak heran. Memang waktu istirahat dulu aku sengaja nggak bergabung makan bersama anak lain supaya bisa makan lebih cepat dan memburu waktu agar bisa segera menyelesaikan keperluan OSIS. Toh, aku masih berteman dan melakukan kenakalan bersama teman-temanku ketika jam pelajaran di kelas. Ahh benar, kangen sekali rasanya pada masa-masa itu. Oh ya, apa kamu punya pengalaman serupa waktu sekolah? Aku juga mau dengar ceritamu kapan-kapan.

Karena rasa kangen butuh pelampiasan, sepertinya aku perlu mikir kira-kira mimpi dan jalan gila apa lagi yang bisa aku kejar setelah ini. Atau mungkin kamu punya ide buatku? Oh ya satu lagi, aku masih mau bertengkar-bertengkar lagi sama kamu setelah ini. Ditunggu ya, mas!

Komentar