KESADARAN

 

Tentang pulang, beberapa ingin menyegerakan. Bahkan derit rel dan roda kereta di ujung jalan terdengar seperti bel sekolah yang memanggil anak-anak berlari masuk. Seolah pulang atau dialiaskan kembali ke rumah menjadi angin segar bagi yang sesak, atau air jernih bagi yang dahaga. Sesak oleh apa? Dahaga oleh apa? Entah, tapi seolah semua itu bisa dipuaskan hanya dengan satu kata: rumah.

Tapi tidak bagiku. Bukan, bukan berarti aku tak merasakan sensasi angin segar atau air jernih itu di rumah. Sebagai pekerja kantoran yang menggantungkan hidup sehari-hari hanya pada digit gaji, tentu kembali ke rumah menjadi momentum yang sangat menggembirakan untuk sekedar berbaring di kasur tanpa memikirkan makan apa setelah ini, apa lagi pekerjaan rumah yang perlu dibereskan, tinggal berapa sisa uang di rekening hari ini, dan apapun dan apapun. Mengalaminya sungguh seperti mencicipi surga setelah sekian jauh mendaki di jalan menanjak dan berbatu. Namun, justru karena ia surga, maka aku takut kesana. Sebab dibaliknya akan ada jalan setapak yang menanjak dan berbatu lagi. Karena bagiku yang berat bukan setapaknya, namun kembali menghadapi setapak yang entah tanjakannya akan seberapa curam pasca mencicipi surga-lah yang menakutkan. Otot-otot yang sebelumnya dikendurkan oleh jamuan-jamuan surga bak pesta anak bungsu yang kembali setelah hilang, tiba-tiba ditempa keras tepat dibelakang tengkuk dan menjadi sungguh tegang.

Yang di rumah menanti, penuh harap sambil terus bertanya “mengapa?” Tapi sungguh kembali menapak setelah tersegarkan bukan hal yang mudah meski bukan berarti tidak mungkin. Akhirnya menolak pulang seolah-olah menjadi pelarian paling aman, sembari bersembunyi dibalik alasan lelahnya bolak-balik dalam jangka waktu singkat, atau sekedar sibuk membereskan urusan rumah tangga di kos-kosan, atau sekedar “nggak apa-apa bulan depan lagi saja pulangnya”.

Memang bukan hal yang merugikan memilih bertahan di perantauan, seorang diri. Beberapa urusan rumah tangga di kos-kosan bisa terselesaikan dengan baik, bisa menjejalkan badan di atas kasur dengan percuma selama beberapa jam, menarik gas sepeda dengan percuma di jalanan kota sekedar untuk menjajal sekaligus mengasah kemampuan spasial yang tidak lebih bagus dari kucing rumahan, dan mengunjungi tempat-tempat baru. Tapi tidak pulang bukan berarti masalah selesai. Inti sari dari semuanya adalah kegagalan untuk “memegang tali di tengah”: luluh oleh siksaan dan terlena oleh buaian. Tak baik sepertinya jika dibiarkan begini, membuat hidup takut melangkah dan menatap karena terus diiringi kesan “jangan-jangan...”. 

Tapi kegundahan ini kemudian digenapi oleh kutipan seorang bijak, “semua akan berlalu. Susah akan berlalu. Begitu pula senang, juga akan berlalu. Orang yang bijak tidak akan terikat pada keduanya. Dan saat itu terjadi, disitulah tercapai kesadaran.”

Komentar