SUSAH


Seorang teman yang sedang khawatir sungguh pada persiapan menjelang ujian seminar hasil tiba-tiba bertanya, tidakkah akhir-akhir ini kamu merasa takut karena melihat orang lain terlihat lebih bahagia, lebih maju, dan lebih baik dari pada dirimu? Ahh apa iya, kusesapi dalam-dalam pertanyaan barusan sambil memanggil memori-memori dalam pikiran sembari memilah dan merefleksikan satu-persatu. Tapi yang bermunculan justru memori-memori bertema kesusahan. Benar saja, belakangan sudut pandang yang ditangkap lensa pikiranku melulu soal kesulitan dan beratnya hidup, dari subjek/objek manapun. Jalan pagi ketika melihat ibu-ibu yang susah payah mengayuh sepeda dengan beban barang dagangan begitu berat di kursi belakang: ahh, disaat aku bisa berolahraga untuk menyehatkan badan, yang lain harus mengayuh pedal untuk menyambung hidup. Sepulang dari gereja di hari Minggu, ketika ingin sekedar melegakan dahaga dengan minuman dingin: ahh pekerja minimarket ini harus tetap bekerja di akhir pekan, sedangkan aku selalu pasti merasakan libur dua hari tiap akhir pekan. Seorang bapak susah payah mengendalikan laju sepeda motor lantaran yang ditunggangi mulai oleng nampaknya kelebihan muatan, seorang anak kecil di bagian depan persis dibelakang setir dan anak lainnya yang lebih kecil dihimpit diantara punggungnya dan dada istrinya; sedangkan aku melenggang ringan dengan sepeda motor yang kutunggangi seorang diri, bahkan bisa kubelokkan kemanapun aku mau saat itu. Bahkan dalam suasana mewah dan berlimpah harta sekalipun; ahh, mereka pasti dengan sangat susah payah mengusahakannya, belum tentu orang lain kuat menanggungnya.

Putus asa tak jua mendapat jawab sepadan dari pertanyaan sebelumnya, kulontarkan saja jawaban apa adanya: justru yang tertangkap lensa pikiranku akhir-akhir ini temanya kesusahan hidup, semua orang hidup dengan bersusah-susah sehingga patutlah jika hidupku kadang-kadang juga terasa susah.

Ahh, tapi apakah benar hidup akan selamanya susah? Atau ini hanya sebuah fase saja, seperti kata JKT 48 dalam lagunya: …tepian pasti ada, suatu saat kau pasti akan sampai. Jika memang begitu, apakah kitab suci berbohong dalam ayatnya: “…karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." Ohh, ataukah aku harus percaya pada kitab suci, dan mengamini bahwa setiap hari punya kesusahannya sendiri?

Komentar