PELAJARAN TANPA KATA

 


Fab, aku kenal kamu pertama kali tujuh tahun yang lalu. Waktu itu kamu ngantar temanmu ke tempat latihan teater. Sambil menunggu giliran latihan, kamu ngajak aku ngobrol. Yang kita obrolkan sederhana saja, tentang kehidupan sebagai anak SMA. Kamu bercerita banyak tentang kegiatanmu di sekolah. Aku nggak ingat persis apa saja isi ceritamu waktu itu, tapi aku sangat ingat gimana kamu bikin aku tetep fokus ke kamu selama beberapa menit itu: kamu megang kakiku setiap kali aku noleh ke arah lain. Disitu aku tahu, kamu bukan anak SMA biasa. Kamu punya hal yang nggak banyak orang punya. Hari itu aku belajar sesuatu dari kamu.

Empat tahun kemudian kita ketemu lagi di acara dies natalis jurusanku. Benar dugaanku, kamu bukan anak biasa. Kamu hadir bukan sekedar sebagai pengunjung, kamu hadir sebagai juri ajang pemilihan duta jurusan di acara itu. Di penghujung acara kamu antri di booth foto, aku mendekatimu. Kupikir kamu ingat sama aku. Lampu venue memang remang-remang malam itu, akupun harus beberapa kali berbicara dengan setengah berteriak supaya kamu mendengar suaraku. Tapi ternyata hari itu kamu nggak ingat sama aku.

Dua tahun kemudian aku ketemu kamu di depan kantor jurusanku. Kamu tanya aku ngapain di situ. Aku ketawa, aneh kamu ini. Justru harusnya aku yang tanya ke kamu, ‘kan ini bukan kampusmu. Kamu nggak menjawab waktu itu, kamu cuma senyum aja. Tapi di depanmu ada seorang cewek yang nggak aku kenal. Belakangan aku tahu kalau dia kakak tingkat di jurusanku, dan dia pacarmu waktu itu.

Beberapa waktu setelah itu, aku lihat kamu di depan gedung fakultasku. Kamu lagi ngobrol sama beberapa anak di situ. Seingatku aku agak terburu-buru waktu itu, dan sepertinya kamu juga lagi asik ngobrol. Jadi aku nggak sempet nyapa kamu. Tapi waktu aku melewati kamu, kamu narik tasku terus manggil aku. Meskipun sederhana, tapi hari itu aku belajar sesuatu lagi dari kamu.

Setelah itu kita nggak pernah ketemu lagi. Tapi sesekali aku lihat update kegiatanmu di media sosial. Kamu aktif jadi penyiar radio ternyata. Awalnya aku pikir profesi ini biasa saja, meskipun cocok banget tentu saja sama kepribadianmu. Tapi setelah aku baca tulisanmu tentang seberapa cintanya kamu sama radio, sesering apa kamu dengerin radio dari SD, bahkan kamu masih ingat nama-nama program radio dan penyiarnya yang selalu kamu dengarkan; aku sadar kalau aku salah, bekerja di radio bukan ‘sekedar’ buatmu. Lalu kupikir semua yang dikerjakan karena suka atau senang pasti mudah, ternyata aku salah. Kamu dapet jatah siaran setiap hari di program jam delapan sampai dua belas malam. Itu program terakhir alias penutup hari, dan kamu selalu siaran sendiri. Pernah suatu kali kamu update di media sosial radio untuk ngasih pengumuman vote request lagu. Wajahmu kelihatan capek banget di situ, tapi pada update lain di akun pribadimu kamu bilang kalau kamu sangat mencintai pekerjaan ini. Hari itu sekalipun kita nggak ketemu langsung, aku belajar sesuatu lagi dari kamu.

Terima kasih Fab untuk tetap menjadi kamu, dan terus mengajarkan banyak hal meskipun tanpa kata-kata.

Komentar